Mite dan Historical Discourse Masyarakat Sunda

Mite dan Historical Discourse Masyarakat Sunda*

Oleh Iryan AH

Pernahkah Anda mendengar tentang cerita Sang Kuriang? Saya yakin sudah pernah. Tetapi, Anda tahu, mengapa cerita seperti Sang Kuriang itu digunakan untuk menjelaskan tentang keberadaan Gunung Tangkuban Perahu yang ada di Lembang Bandung? Adakah memang keterkaitan antara cerita Sang Kuriang dan keberadaan Gunung Tangkuban Perahu itu? Boleh jadi, masyarakat kontemporer kita saat ini mengenalnya sebagai cerita rakyat, dongeng, mite, atau mitos belaka. Mengapa disebut demikian—mite, dongeng, cerita rakyat, sastra lisan atau mitos? Mengapa kita tidak percaya saja bahwa memang adanya Gunung Tangkuban Perahu disebabkan oleh kemarahan Sang Kuriang akibat kesiangan menepati janjinya pada Dayang Sumbi—atau,  akibat amarah Sang Kuriang karena merasa dikibuli oleh Dayang Sumbi?

Sampai pada tahap ini, kita memang tidak pernah tahu tentang benar-tidaknya keterkaitan Gunung Tangkuban Perahu dengan cerita Sang Kuriangnya. Saya kira, belum pernah ada satu orang Sunda pun yang ingin atau bisa membuktikan cerita Sang Kuriang menyebabkan keberadaan Gunung Tangkuban Perahu itu. Itu terkesan konyol. Tetapi, bagaimana seandainya hal itu memang benar adanya? Barangkali terlepas dari ‘kekonyolan’ itu, yang jelas, selama ini kita membutuhkan penjelasan ‘ilmiah’ atas keberadaan gunung itu sendiri, bukan penjelasan sekadar dari sebuah cerita yang ‘tak dapat dipercaya kebenarannya’.

Akan tetapi, Anda tahu, mengapa masyarakat Sunda sejak zaman Hindu-Budha sampai saat ini masih tetap mempercayai cerita itu sebagai kisah ‘kebenaran’ tentang keberadaan Gunung Tangkuban Perahu? Apa hal itu menunjukkan ketidakmampuan masyarakat Sunda—dahulu dan sekarang—menjelaskan tentang keberadaan gunung itu secara ‘ilmiah’? Lepas dari pertanyaan ini, saya kira perlu diperhatikan mengapa cerita Sang Kuriang itu berkembang terus, meskipun kita sudah punya cara penjelasan lain tentang keberadaan Gunung Tangkuban Perahu sesuai nalar masyarakat kita saat ini. Pada titik ini, keheranan saya dalam bentuk pertanyaan mengapa cerita itu terus berkembang, menambatkan saya pada dua hal sebagaimana saya harus bersikap menutupi keheranan atau ketidakpercayaan ini pada sejarah perkembangan cerita Sang Kuriang dan tentang Gunung Tangkuban Perahu itu sendiri. Hal utama, saya yakin mengapa cerita itu berkembang karena pada dasarnya, (1) memiliki fakta keras tentang adanya Gunung Tangkuban Perahu itu sendiri sebagaimana kita saksikan saat ini yang mirip perahu nangkuban, sehingga dengan begitu, (2) gunung itu selalu dikaitkan karena asal-usul cerita gunung itu mirip perahu nu nangkuban saat ini adalah berawal dari cerita Sang Kuriang sejak dahulu kala.

Kalau sudah demikian, mengapa kita tidak percaya total saja akan kebenaran cerita Sang Kuriang itu—karena dalam kerangka pemahaman historical discourse, bisa jadi ia sudah bisa dikatakan semacam sejarah–? Atau, kalau memang pemahaman sejarah kita yang terbentuk saat ini sudah sedemikian antiquariat dan metodologis, mengapa tidak menilai bahwa cerita Sang Kuriang merupakan cara menilai sekaligus menceritakan masyarakat Sunda terhadap sejarahnya sendiri? Saya yakin, jauh sebelum kedatangan para mujahid Islam dan kolonialisme Barat di Pasundan, kemungkinan besar bahwa masyarakat Sunda hanya mengenal cerita Sang Kuriang itu sebagai dasar pijakan pengungkapan atau penilaian masyarakat atas masa lalunya sendiri. Tetapi, mengapa di kemudian waktu, cara menilai/berpikir masyarakat Sunda dahulu tentang keberadaan Gunung Tangkuban Perahu itu dinilai mistis, yang menyematkan pada kisah ini sekadar mite atau legenda belaka?

Barangkali, ada dua hal yang menggoncangkan keyakinan masyarakat Sunda—orang Sunda dahulu yang pertama kali bertemu dengan orang-orang Islam dan Barat—pada keberadaan cerita Gunung Tangkuban Perahu itu sendiri. Pertama, kekerasan epistemologis[ii] yang dilakukan oleh orang-orang Islam dan kolonialisme Barat atas keberadaan cerita itu, sehingga kisah demikian sekadar kepercayaan tahayul belaka dan cerita tidak valid semata sehingga tidak layak disebut ‘sejarah’[iii]. Kedua, ketidakmampuan kita sendiri mengembangkan cara mengungkapkan/menilai masa lalu masyarakat, yang diwakili oleh fakta keberadaan keterkaitan antara cerita Sang Kuriang dan Gunung Tangkuban Perahu itu sendiri. Saya kira, pada titik ini, tema di atas menarik untuk didiskusikan yakni tentang cara pengungkapan atau penilaian masyarakat Sunda atas masa lalunya yang direpresentasikan oleh cerita Sang Kuriang atau cerita lainnya. Barulah kemudian, pada tahap berikutnya, mudah-mudahan kita dapat menarik genealogi pengetahuan sejarah dari kisah semacam Sang Kuriang atau lainnya sebagai historical discourse masyarakat Sunda.

Oleh karena itu, di bawah ini, saya coba menulis ringkas ulang, apa yang sudah dikerjakan oleh kedua pengarang besar Indonesia yang lahir dan besar dari tradisi Sunda yakni Utuy Tatang Sontani dan Ajip Rosidi, serta Achdiat Kartamihardja.

***

Cerita Sang Kuriang yang berkisah tentang keberadaan gunung Tangkuban Perahu sangat legendaris bagi masyarakat Jawa Barat. Semenjak sekolah di SD, saya kerap mendengarkan cerita Sang Kuriang ini dari guru pelajaran bahasa Indonesia. Tidak sekadar kisah Sang Kuriang, ada cerita tentang si Kabayan, Malin Kundang, si Kancil dan lainnya. Apabila saya tidak salah mengingatnya, topik mata pelajaran yang tengah dijelaskan saat itu adalah dongeng. Dalam hal ini, dongeng diartikan sebagai teknik bercerita, penyampaian isi cerita dan nilai manfaat suatu cerita. Dengan begitu, setiap orang diharuskan bisa menceritakan, hapal isinya dan mengerti pesan yang disampaikan. Karena itu, dongeng menjadi topik pelajaran yang wajib dipelajari peserta didik.

Mengapa kisah atau dongeng demikian bisa langgeng diceritakan terus? Apakah dongeng memang merupakan bagian dari proses penciptaan simbol oleh manusia[iv] untuk menilai masa lalu masyarakatnya sendiri[v]? Saya kira, hal itu memang perlu ditelusuri dalam pelacakan sosiologi ilmu pengetahuan, di mana simbol yang diciptakan oleh manusia dapat ditelanjangi. Semisal Kuntowijoyo mencontohkan lewat analisis Marxis atau non-Marxis. Untuk yang pertama, struktur dan suprastruktur menjadi dasar penelanjangan simbol yang diciptakan oleh manusia. Semisal, George Lucaks menelusuri sejauhmana tingkat keterkaitan antara genre suatu seni dengan basis sosial yang melatarbelakanginya. Sementara itu, untuk kalangan non-Marxis, bahwa proses penelanjangan simbol itu dapat dilakukan dengan cara psiko-historik, melalui pemahaman imajeri—teknik membayangkan sesuatu dalam pikiran yang dilakukan secara sadar—sebagai hasil dari bentuk ketegangan sosial di bawahnya[vi].

Lalu, apakah suatu kisah dongeng merupakan bagian dari proses penciptaan simbol yang bekerja pada lapangan sejarah? Konsekuensi jawaban dari pertanyaan inilah barangkali yang menggiring kita pada hisctorical discourse. Dalam arti, konsekuensi jawaban atas pertanyaan itu akan melihat bagaimana bahwa dongeng, mite, annal, sejarah, merupakan bagian dari cara manusia memahami atas masa lalunya. Sejarah, cerita rakyat, sastra, dongeng, mite, dan mitos, barangkali merupakan bagian dari cara penilaian atau pengungkapan manusia atas masa lalunya. Pada tahap ini, semua kategori yang disebutkan di atas masuk dalam historical discourse. Tetapi, apabila, sudah masuk dalam perdebatan sejarah sebagai metodologi, maka kategori-kategori semacam mite, annal, cerita rakyat sulit masuk dalam penilaian masa lalu yang valid, melainkan masa lalu yang mistis atau tidak valid kebenarannya. Mengapa hal itu bisa terjadi demikian? Saya kira hal ini membuat kita sulit memasukkan cerita tentang Sang Kuriang masuk dalam kategori valid kebenarannya. Hal itu tidak lepas dari perkembangan filsafat sejarah Barat yang secara langsung banyak memengaruhi cara kerja penilaian atau penelitian masyarakat kita pada sejarah.

Pada kesempatan ini, barangkali menarik untuk melihat bagaimana perkembangan filsafat sejarah di dalam masyarakat Barat itu sendiri. Sebelum pada akhirnya berkembang pada aliran idealis, positivis, dan posmodernis, pernah berkembang aliran skolastik. Dari sini, pengalaman pemahaman filsafat sejarah yang dikembangkan pada masa aliran skolastik merupakan bagian dari pemahaman atas kinerja ketuhanan dan keagamaan dalam mengatur manusia. Berjalannya waktu, tingkah laku manusia, dan thelos sejarah manusia ditentukan oleh Tuhan serta mengarah pada arah heilsgeschidenis. Perkembangan pemikiran filsafat sejarah pascaskolastik mencemooh sebagai bentuk irasionalitas. Bahwa manusia tidak ‘digerakkan’ oleh Tuhan, melainkan manusia sendiri yang menentukan thelos kehidupannya sendiri. Pada tahap ini, arah perkembangan pemikiran filsafat sejarah Barat yang sebelumnya sangat adikodrati digantikan antroposentrisme.

Akan tetapi, transformasi filsafat sejarah pada pascaskolastik di Barat masih terpatok pada aliran skolastik. Ini menandakan transformasi linier pemahaman filsafat sejarah di dalam masyarakat Eropa. Semisal, aliran idealis Hegel yang meskipun antroposentris justru masih memiliki kemiripan dengan cara pemikiran para filsuf sejarah Eropa abad skolastik; yakni melihat akhir dari thelos sebagai bentuk dialektika[vii]. Adakah hal demikian berkembang di tengah perkembangan filsafat sejarah masyarakat Sunda?

***

Sebelum jauh untuk masuk dalam diskusi penilaian, saya akan mengambil dua contoh menarik tulisan tentang Sang Kuriang. Sebagaimana lazim kita saksikan bahwa pada 1950-an, marak penulisan ulang tentang cerita-cerita rakyat Sunda yang diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia. Dan saya kira jumlah buku cerita rakyat Sunda yang berhasil ditulis ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan penerbitan umum lumayan banyak, seperti Sang Kuriang, si Kabayan, Ciung Wanara, Mundinglayadikusumah, Lutung Kasarung dan lainnya. Berikut ini saya ingin mengambil dua contoh buku yang berhasil mendokumentasikan cerita tentang Sang Kuriang yakni tulisan Ajip Rosidi dan Utuy Tatang Sontani. Keduanya memiliki perbedaan dalam teknik bercerita.

Ajip Rosidi, dalam buku Sang Kuriang Kesiangan[viii], menuturkan bahwa gerak kisah sangat ditentukan oleh kekuasaan Sang Rumuhun. Konsep Sang Rumuhun merupakan turunan ketuhanan yang berhasil dijabarkan oleh masyarakat kerajaan Galuh saat itu. Di mana asal-mula kelahiran Dayang Sumbi dan Sang Kuriang dikaitkan dengan kekuasaan Sang Rumuhun. Di mana, sumber cerita yang ditulis oleh penulis percaya bahwa kelahiran Dayang Sumbi (melalui air kencing raja Galuh yang diminum babi) dan Sang Kuriang (melalui percintaan antara anjing dan perempuan) merupakan bentuk kekuasaan Sang Rumuhun. Seperti dituturkan penulis kisahnya, bahwa semua itu ditentukan oleh Sang Rumuhun. Bahkan, pertemuan kembali antara Sang Kuriang dan Dayang Sumbi setelah sekian lama akibat konflik makan daging si Tumang dan ganjalan keheranan sang anak pada sang ibu prihal keberadaan ayahnya.

Lama tidak bertemu membuat Sang Kuriang tidak mengakui bahwa dirinya merupakan anak dari Dayang Sumbi. Bahkan, Sang Kuriang merasa sebagai orang yang diutus oleh Sang Rumuhun untuk mengawini Dayang Sumbi yang kesepian di tengah hutan Tutupan. Dayang Sumbi meragukan itu, tetapi Sang Kuriang bersikukuh. Keduanya pun akhirnya saling menantang. Yang pertama bersedia dinikahi, sementara yang kedua harus membuat suatu bendungan dan sebuah perahu sebagai prasyarat. Tetapi, Dayang Sumbi menilai, apa mungkin seorang ibu harus rela menikah dengan anaknya sendiri? Akhirnya, Dayang Sumbi membuat siasat agar Sang Kuriang ‘kesiangan’. Sang Kuriang merasa dikibuli. Akhirnya, kisah berakhir dengan aksi kejar-kejaran kedua orang itu. Konon, Gunung Tangkuban Perahu itu terbentuk karena kemarahan Sang Kuriang.

Hal itu berbeda dengan kisah Sang Kuriang yang diceritakan oleh Utuy Tatang Sontani[ix]. Penuturan Utuy sangat bercorak historis materialisme; semua kisah bermula dari rasa penasaran akan pembuktian. Maka, Sang Kuriang sebagai individu yang otonom menilai tentang keberadaan dirinya sendiri tidak lewat keberadaan anjing bernama si Tumang. Bahkan, Dayang Sumbi pun dirasa bukan sebagai ibunya, meskipun mereka hidup bersama semenjak Sang Kuriang kecil. Maka, dimulailah suatu babak di mana Sang Kuriang punya keinginan menikahi Dayang Sumbi yang cantik jelita. Dayang Sumbi tak bisa membayangkan dan tak habis pikir mengapa seorang anak ingin mengangkangi ibunya sendiri. Ini semacam tragedi Oedipus. Tetapi, Dayang Sumbi tak bisa mengelak lebih jauh dari keinginan Sang Kuriang. Ia menyanggupi asal dengan syarat; membendung sungai dan membuat perahu. Sang Kuriang menunaikan tugas itu, tetapi Dayang Sumbi berkilah dan memilih bunuh diri. Sang Kuriang terkesima dengan penyesalan ingkar janji Dayang Sumbi terhadap dirinya. Maka, ia pun memilih bunuh diri.

Di atas merupakan dua contoh tentang cara orang Sunda, yang diwakili Ajip Rosidi dan Utuy Tatang Sontani, yang merekam dan menceritakan kembali cerita Sang Kuriang. Saya kira mereka tengah tidak menuliskan sejarah ataupun mite semata, melainkan mewakilin pandangan mereka sendiri atas cerita itu dengan memasukan pandangan sejarah mereka sendiri. Apakah hal itu digerakkan oleh kekuatan gaib yang menuntun sang tokoh dalam cerita, atau justru thelos yang digerakkan oleh ide di dalam watak tokoh cerita. Inilah yang mewakili pandangan mereka dalam cerita itu. Saya kira ini sah, dan seandainya kita tahu bagaimana cerita ini awalnya dikisahkan, saya kira kita akan dapat menilai terjadi atau tidaknya transformasi pemahaman filsafat sejarah di tengah masyarakat Sunda?

***

Masyarakat Sunda ditengarai telah sejak lama mengenal tradisi sastra seperti cerita Sang Kuriang di atas. Ajip Rosidi menengarai kemunculan cerita rakyat Sunda telah ada sejak zaman Hindu-Budha[x]. Kemudian, cerita-cerita rakyat itu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang berlaku didalamnya. Ajip Rosidi menyebut tiga tahap perkembangan sastra Sunda. Pertama, Jaman Buhun (zaman klasik), di mana masyarakat Sunda telah menganut Hindu. Dalam ketegori ini, sastra Sunda berkembang dalam bentuk cerita-cerita pantun, fabel, kawih (cerita pantun bermusikan kecapi), mitologi, mantra, dan naskah-naskah seperti Carita Waruga Guru dan Kunjarakarna.

Kuatnya pengaruh Hindu telah begitu melekat dalam tradisi sastra Sunda. Lutung Kasarung, Mundinglaya Di Kusumah dan Tjiung Wanara hampir mirip punya karakter cerita yang sama dengan epos Ramayana, mulai dari latar cerita, alur cerita, dan ide cerita[xi]. Ketiga cerita rakyat masyarakat Sunda itu dikenal sebagai tradisi kawih atau bercerita dengan dialuni musik kecapi yang dinarasikan juru pantun. Dan sebelum cerita itu diceritakan, juru pantun wajib membacakan rajah. Rajah ialah semacam mantera yang biasa diucap juru pantun, agar juru pantun tidak menyalahi substansi cerita sehingga menimbulkan kemurkaan hiang atau karuhun.

Intensitas kontak ekonomi-sosial-politik-keagamaan masyarakat Sunda dengan wilayah Asia Selatan telah memunculkan suatu akulturasi budaya. Sejak abad ke-6 M di Jawa Barat telah muncul beberapa kerajaan Hindu, seperti Tarumanegara (abad V-VIII), Padjadjaran (VIII-XVI),  Galuh (abad VIII-XV), dan Sumedanglarang 1580-1620).  Pengaruh kebudayaan Hindu terhadap perkembangan kebudayaan masyarakat Sunda relatif kentara. Misalnya hal ini tampak dalam kehidupan kebudayaan seni sastra Sunda beserta pandangan hidup masyarakat pendukungnya.

Kedua, Jaman Kamari, yakni hasil dari proses perkembangan cerita rakyat Sunda yang telah dibentuk dalam penjajahan Islam, Mataram, Eropa, dan Jepang. Karya sastra Sunda yang muncul pada periode ini adalah seperti wawacan dan guguritan yang merupakan pengaruh dari tradisi macapat Mataram, serta bentuk roman atau cerpen realistis yang merupakan pengaruh dari Eropa (Belanda). Pada fase kedua ini pula, masyarakat Sunda yang sejak awal dikenal egaliter telah mengenal undak-usuk basa. Undak-usuk basa ini merupakan pengaruh dari kerajaan Mataram yang mengenal tingkatan bahasa sesuai karakterisitk feodal[xii]. Hal itu disebabkan kekaguman segelintir kaum menak Sunda terhadap laku tatakrama bangsawan kraton di Mataram. Sehingga tidak heran, bagi kaum menak Sunda bahasa Jawa lebih bergengsi ketimbang bahasa Sunda[xiii].

Keitga, Jaman Kiwari, yaitu periode pascakemerdekaan, di mana menurut Ajip Rosidi, masyarakat Sunda tengah mengalami kebangkitan atau renaisans kebudayaan rancage. Keberaksaraan latin, pengaruh pikiran Eropa, dan pesatnya industri cetak, telah mengembangkan sastra Sunda. Dalam fase ini juga, Ajip Rosidi telah mengembangkan sastra lisan Sunda dalam bentuk cerita-cerita rakyat ditulis-bukukan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia untuk dapat dibaca kalangan luas, dan menghilangkan beberapa mitologi dalam cerita itu untuk mendapat tempat dalam ranah berpikir modern masyarakat[xiv].

***

Anda masih ingat dengan cerita-cerita si Kabayan? Sampai saat ini cerita si Kabayan tidak pernah mati, dan berapa ratus kali sosok si Kabayan pernah diceritakan. Ini bisa dilihat dari karya buku yang bercerita tentangnya ataupun film yang mengisahkannya sampai saat ini. Meskipun, hampir tidak dapat dipastikan kapan cerita si Kabayan sudah muncul di kalangan masyarakat Sunda. Lantas, cerita tentang si Kabayan itu sangat populer di kalangan masyarakat, terutama setelah kemunculannya di layar di televisi. Bahkan, saking populernya, watak si Kabayan nyaris inheren dengan karakter orang Sunda itu sendiri[xv]. Ada pemeo, “Dasar si eta mah si Kabayan atuh!”. Dengan begitu, untuk mendiskusikan tentang ini, saya kira perlu mengajukan pertanyaan mengapa cerita ini begitu populer di kalangan masyarakat Sunda? Sejak kapan ada di tengah masyarakat? Kemudian, untuk apa cerita semacam si Kabayan muncul dan terus direproduksi—tidak pernah selesai?

Dalam hal inilah, saya kira, cerita-cerita tentang si Kabayan menarik untuk diulas lebih lanjut. Apabila kita memerhatikan isi cerita si Kabayan itu sendiri, di samping dapat mewakili latarbelakang sosial kebudayaan masyarakat Sunda, juga menunjukkan tentang bagaimana ini diceritakan dan untuk apa diceritakan terus. Saya kira, yang memang menarik untuk diulas lebih lanjut dalam kerangka historical discourse ialah mengapa si Kabayan gemar direproduksi kembali—dengan mengangkat latar cerita yang sama atau berbeda—dan sebenarnya untuk apa tokoh ini senang dijadikan perumpamaan di dalam masyarakat Sunda. Untuk konteks di sini, saya baru mendapatkan buku dari Utuy Tatang Sontani, Achdiat Kartamihardja dan Ajip Rosidi. Meskipun ada buku Coster-Wijsman, M.A Salmun, Mis Resmana, dan lainnya, yang belum saya baca. Dengan demikian, barangkali dalam tulisan ini, pembahasan terhadapnya sangat terbatas.

Apabila menyitir pendapat Karl Mannheim prihal simbolisasi yang sering dibuat manusia, maka rasanya memang perlu mengungkapkan sosiologi pengetahuan yang memunculkan penceritaannya itu. Tetapi, di sini letak kelemahan saya yakni belum terlalu serius mengungkap sejarah basis sosial masyarakat yang memunculkan tentang sosok si Kabayan pada awal kemunculannya dan sampai kemudian senang direproduksi kembali ceritanya. Barangkali memang butuh forum khusus. Dengan begitu, sebagai tanda keterbatasan saya mengulas cerita si Kabayan yakni dalam kerangka historical discourse.

Barangkali saya ingin mencontohkan salah satu cerita si Kabayan yang dituliskan Utuy Tatang Sontani. Dengan begitu, mudah-mudahan bisa menjawab—baik langsung atau tidak langsung—tentang cerita si Kabayan sebagai cultuuruiting (perwujudan kebudayaan). Menurut Achdiat, Utuy merupakan sastrawan kelahiran Sunda pertama yang memperkenalkan cerita si Kabayan di pentas nasional dengan diterbitkan oleh penerbit umum dan diceritakan dalam bentuk bahasa Indonesia pada 1960-an. Ketika itu, kemunculan penceritaan kembali cerita rakyat merupakan sebentuk keseriusan Utuy dan teman-temannya dalam mengangkat cerita masyarakat di pentas sastra nasional yang tengah ramai memperdebatkan antara ke Barat atau ke Timur jilid dua[xvi].

Di dalam bukunya Si Kebajan[xvii], Utuy memotret kehidupan dukun di Jawa Barat pada 1960-an. Di situ dijelaskan, bagaimana si Kabayan merupakan orang yang malas bekerja di ladang, hanya mengandalkan kesanggupan memasak sang istri Idjem. Mertuanya kerap kali marah, tapi mental. Sampai kemudian, si Kabayan punya ‘akal’ dan mengakali keluarganya sendiri bahwa ia mengalami kesurupan karuhunnya Parahulu. Ini yang kemudian menjadikan ia dinilai memiliki kekuatan gaib. Orang-orang desa sampai orang kota pun percaya. Tak jarang, pengusaha, pedagang, politikus, tentara dan orang miskin datang kepadanya untuk minta segelas air jampe. Si Kabayan tak menyangka akan seheboh itu; ramainya orang yang membutuhkan bantuan gaibnya. Di sisi lain, ini menguntungkan bagi ‘asap dapur’ si Idjem, tetapi si Kabayan merasa frustasi sendiri. Mengapa orang-orang pintar seperti politikus, pengusaha, tentara percaya pada kekuatan gaib yang dibuat-buatnya. Ia merasa frustasi sendiri akibat ulahnya sendiri, sehingga ia memilih mengasingkan diri.

Apabila memerhatikan kisah kisah di atas itu, sebenarnya kita langsung disodorkan gambaran tentang bagaimana kehidupan orang-orang pada masa itu; kehidupan agraris, percaya pada hal yang magis, kemiskinan, dan gaya hidup orang-orang urban yang juga percaya pada hal magis. Dengan menggunakan karakter si Kabayan yang khas yakni cerdik mengakali orang lain, si Kabayan pun menjadi dukun dadakan. Ternyata, tak dinyana, orang-orang cepat percaya. Mungkin, bagi Utuy, ini potret kecil kehidupan saat itu yang diangkat melalui karakter si Kabayan. Utuy dengan menggunkan karakter si Kabayan mengungkapkan realitas kepercayaan magis masyarakat pada masa modern. Oleh karena itu, pada titik ini, apabila dilihat dalam kerangka historical discourse, terlepas dari persoalan historical methodology, saya kira Utuy telah mengungkap realitas masyarakatnya dengan cara yang khas ala si Kabayan; ngageuing dan ngengeuyahkeun[xviii]. Artinya, melalui sosok si Kabayan, barangkali sang penulis ingin menampilkan satu bentuk tingkah laku manusia ke sindiran guyon (ngegeuyahkeun), dan menasehatinya agar orang sadar akan perbuatannya (ngegeuing).

Lantas, kalau begitu, apakah realitas yang terekam dalam cerita si Kabayan dapat disebut sebagai sejarah humor? Saya kira sulit untuk mengatakan demikian, meskipun dalam historical discourse cerita si Kabayan memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan masa lalunya[xix].

***

Saya kira masih banyak cerita rakyat yang dimiliki khasanah kebudayaan masyarakat Sunda. Berapa banyak yang belum saya baca, sementara apa yang saya tampilkan dalam tulisan ini alakadarnya saja. Oleh karena itu, membaca dan mengkaji kembali cerita-cerita yang dimiliki khasanah kebudayaan kita tidak berhenti sampai di sini saja. Setidaknya, apabila kita tahu tentang apa yang kita miliki, sebenarnya kita sudah punya cara sendiri untuk mengungkapkan masa lalu yang ada di tengah masyarakat kita. Bukahkah hal itu merupakan histoire recite? Kita sudah punya itu, tinggal membuktikan masa lalu sebagai histoire realite. Saya kira kita pun berkewajiban untuk ngageuing dan ngageuyahkeun.

Pojok Tiyasan, 07.16, 18/12/2010.

* Disampaikan dalam diskusi Karawang Ngawangkong, 18/12/2010. Pkl 15.00 di Djambur DIY.

[ii] Saya meminjam istilah kekerasan epistemologis ini dari Linda Tuhiwai Smith. Menurutnya, kekerasan epistemologis merupakan salah satu upaya pemaksaan perebutan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu oleh pihak lain (outsider). Hal ini dicontohkan oleh penulisnya bagaimana cerita sejarah masyarakat Maori asli di New Zealand dianggap sebagai bukan kategori ‘sejarah’ oleh orang-orang kolonialisme Barat. Lihat Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisasi Metodologi, (Yogyakarta: Insist. 2005), terutama Bab II.

[iii] Saya sendiri, sampai saat ini, memang belum mendapat keterangan dari sumber sejarah manapun tentang hal ini. Saya kira memang perlu dilacak.

[iv] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 1987) hlm 3.

[v] William Frederick dan Soeri Soeroto menyebut dua sifat sejarah. Pertama, sejarah sebagaiman faktanya itu sendiri (histoire realite). Kedua, sejarah sebagaimana usaha manusia menilai masa lalunya, maka bagaimana sejarah merupakan ciri bagaimana manusia menceritakan masa lalunya (histoire recite). William Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia; Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: LP3ES. 2005) hlm 1-24.

[vi] Kuntowijoyo, ibid, 1987, hlm 4.

[vii] F.R Ankersmit. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. (Jakarta: Gramedia. 1997) hlm 24-35.

[viii] Ajip Rosidi, Sang Kuriang Kesiangan, (Bandung: Penerbit Tiara, 1961).

[ix] Utuy Tatang Sontani, Sang Kuriang; Libretto dalam Dua Babak, (Jakarta: Balai Pustaka, 1959).

[x] Teddy A.N Muhtadin, Membaca Kritik Sastra Sunda Ajip Rosidi, dalam Jurnal Ibda’ Vol.6 No.1 2008, hlm 42-58.

[xi] C. Rajagopalachari, Ramayana, Penerjemah : Saut Pasaribu. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2005.

[xii] Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad ke-19, (Penerjemah: Suryadi. Jakarta: Gramedia, 2005) hlm 17. Lihat juga Djasepudin, Membaca Undak-Usuk Basa Sunda, dalam Kompas Jabar, 25 April 2006.

[xiii] Tetapi, kaum menak Sunda yang menggunakan bahasa Jawa tidak sehalus dan selancar orang-orang Mataram. Maka, muncul istilah Jaware atau Jawa Saware (semi Jawa). Mikihiro Moriyama, ibid, hlm 18.

[xiv] Ajip Rosidi, Kesusastraan Sunda Dewasa Ini, (Cirebon: Tjupumanik, 1961). Ajip Rosidi dan Aoh Kartamihardja (ed.), Kandjut Kundang, (Jakarta: ). Teddy A.N Muhtadin, loc cit, hlm 5-8.

[xv] Dalam lagunya Urang Sunda, Doel Soembang sangat jelas menggambarkan bagaimana sosok si Kabayan itu amat melekat dalam diri setiap orang Sunda. Tetapi, yang kita kenal, sosok si Kabayan itu orangnya pemalas. Oleh karena itu, bagi Doel Soembang, orang Sunda itu bukan si Kabayan, bahkan “Nepi ulah kababayan”.

[xvi] Debat terbuka antara kita harus berpaling ke Barat atau TImur terjadi pada 1930-an yang didokumentasikan oleh Achdiat Kartamihardja. Achdiat Kartamihardja. Polemik Kebudajaan. (Jakarta: Balai Pustaka, 1949). Kemudian, perdebatan ini berlanjut pada generasi sastrawan Gelanggang dan Angkatan ’66. Meskipun perdebatan ini ditengarai bermuara dari humanisme universal dan humanisme kerakyatan, tetapi suasana strategi politik kebudayaan memunculkan antara yang pro Barat atau ke Timur (Indonesia) dalam lapangan kesenian dan kesusastraan. D.S Moeljanto dan Taufiq Ismail. Prahara Kebudayaan; Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. (Bandung: Mizan. 1995). Tetapi, saya kira, sebagian besar sastrawan Indonesia kelahiran Sunda tidak masyuk ke dalam strategi politik kebudayaan yang sengit semacam itu. Meskipun, banyak pula sastrawan kelahiran Sunda terlibat aktif di Lekra atau kelompok Manikebu, seperti Utuy dan A.S Dharta, S Rukiah (Lekra). Lihat Ajip Rosidi dan Rusman Sutiasumarga. Kandjutkundang. (Jakarta: Balai Pustaka. 1963).

[xvii] Utuy Tatang Sontani. Si Kebajan. (Djakarta: Lembaga Kebudajaan Rakjat. 1961).

[xviii] Achdiat Kartamihardja. Si Kabayan, Manusia Lucu. (Yogyakarta: Grasindo. 1997)  hlm x.

[xix] Taufik Abdullah. Di Sekitar Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif, dalam Jurnal Sejarah No.6/Februari 1996. Hlm 5.
0 Komentar untuk "Mite dan Historical Discourse Masyarakat Sunda"

Back To Top