Pendidikan dan Luka Peradaban

Pendidikan dan Luka Peradaban

Iryan Ali H

Add caption
Kini, kondisi pendidikan kita tengah mengalami titik nadirnya dan dihadapkan pada komersialisasi. Komersialisasi hadir ketika daya cipta kebudayaan masyarakat pendukungnya dilemahkan, dan tiba-tiba watak kapitalis hadir menyelinap untuk merangsek kelas-kelas di sekolah. Inilah yang dihadapi Indonesia, dan menyaksikan kesilauan apa yang ‘dibawa’ dan merayakan apa yang ditanggalkan. Dengan begitu, komersialisasi bisa jadi berlaku saat keduanya bergerak di antara kelengahan masyarakat dan kegesitan para pemanggul proyek kapitalisme.

Pernah, suatu ketika, di awal abad XX, kolonialisme dan watak positivistik keilmuan Barat telah menggusur nilai-nilai pengetahuan masyarakat yang dijajah. Sebab, karakter kolonialisme itu melahirkan keengganan pengakuan atas keberadaan liyan, The Others, yang lain dari kebudayaan masyarakat Barat. Sehingga, yang liyan (The Others) adalah mereka yang perlu diberadabkan, salah satunya dengan pemaksaan kebutuhan pendidikan atas masyarakat yang berhasil dilemahkan. Tentunya, pendidikan yang sesuai dengan selera dan pikiran masyarakat penjajah (Barat). Dalam hal ini, Linda Tuhiwai Smith menyebut kebuasan Barat atas The Others sebagai kekerasan epistemologis.

Implikasi terhadap kekerasan epistemologis itu pada akhirnya akan menggiring pada kondisi pendidikan yang jauh dari pengembangan nilai pengetahuan masyarakat yang sudah ada atau tengah dikembangkan sendiri. Sehingga, apa yang mesti dibayar oleh masyarakat, seperti di Indonesia, adalah (1) pengadaan kebutuhan sesuai apa yang dibawa masyarakat Barat, dan (2) adalah penggusuran daya kreativitas kebudayaan masyarakat. Pada titik inilah, komersialisasi melesap pada tatanan pendidikan dan masyarakat dipaksa untuk mengikuti aturan yang telah dibuatkan.

Dari sini pulalah kita akan melihat bahwa pendidikan adalah semacam harga mahal yang mesti dibayar masyarakat Dunia Ketiga seperti Indonesia. Kebudayaan dipinggirkan, tapi dirawat demi semacam pengetahuan tambahan, sementara yang dititikberatkan adalah pembawaan kebudayaan Barat. Di sinilah, segala macam pengatahuan masyarakat dipinggirkan perlahan, kemudian ditumpulkan, tapi secara tiba-tiba dimunculkan kembali sebagai proyek atas nama pemberadaban dan kerinduan.

Nah, apabila kebudayaan sebagai sarana pendukung atas pendidikan sudah dipinggirkan dan masyarakat pendukungnya dilemahkan, kini giliran penyebaran semangat pembaratan. Salah satunya ialah melalui program pendidikan ala Barat. Pil pahit yang sempat dirasakan masyarakat Indonesia ialah pembekuan secara perlahan lembaga pendidikan yang didirikan orang-orang seperti Ki Hadjar Dewantara. Kita mengenal Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh penggagas pendidikan yang mensintesiskan antara Timur dan Barat, sehingga manusia Indonesia baru bisa berpikir menyesuaikan kondisi zaman (maju) tapi tidak meninggalkan jejak kejawaannya. Penolakannya terhadap metode pendidikan ala Barat juga sejalan tidak ingin menerima bantuan dari pemerintah kolonial. Tetapi, piciknya pikiran Barat itu tidak mengakui filosofis pendidikan semacam ini,sehingga sekolah yang didirikan Ki Hadjar dianggap sekolah liar.

Sudah sekian lama kreativitas kebudayaan masyarakat kita ditumpulkan dengan penjejalan pengetahuan dari ‘luar’. Implikasinya ialah setiap sekolah harus mengikuti ketentuan yang dibuatkan, dan ongkos yang mesti dibayarkan pun mahal. Karena, sumber pengetahuan yang diajarkan dan diperoleh setiap pelajarnya adalah bukan cita rasa kebudayaan yang hidup di sekeliling masyarakat, melainkan kerja pengatahuan yang sengaja didatangkan. Dengan demikian, apabila kita tidak sanggup keluar dari keterjajahan pikiran Barat, maka jangan harap ongkosnya akan lebih murah. Kalaupun ongkos materinya murah, harganya sangat mahal untuk sebuah luka peradaban.

Pemerintah yang diharapkan muncul sebagai penjaga sekaligus perawat peradaban sebuah negara-bangsa nyatanya tidak sanggup menghadapi kondisi serbuan para pemanggul proyek kapitalis terhadap masyarakat yang sudah dilemahkan. Sehingga, pendidikan kita tidak mengarah pada pencerahan. Yang tampak ialah tontonan ketertindasan masyarakat menghadapi serbuan kaum penjajah pikiran kapitalis. Ketidakberdayaan pemerintah itu termanifestasikan dalam sistem pendidikan yang semakin mengarah pada ketidakjelasan kurikulum dan kediaman menghadapi tuntutan globalisasi.

Pada akhirnya, pendidikan kita terkesan acak-acakan dan terjadi penghisapan di mana-mana. Pikiran dijejali kepentingan pasar, sementara masyarakat dihisap untuk memenuhi model pengajaran ala industrialis. Dengan begitu, kita pun harus membayar cukup mahal untuk memenuhi kebutuhannya, dan memaksakan untuk melukai peradaban kita sendiri. Ini tercermin dari adanya UU BHP atau BHMN. Mereka—BHP & BHMN—ada untuk memaksa kita hidup dalam alam mengokohi pasar, dan secara perlahan membenci peradaban sendiri. Sebab, BHP atau BHMN menginginkan kampus menjadi pasar; ada transaksi jual-beli, ada pelacuran intelektual, ada keacuhan sekeliling demi kepentingan pribadi, dan ketakpedulian nilai-nilai mengapa sebuah peradaban itu ada. Jelas, ini merupakan sebuah luka. Kalau sudah luka, maukah kita mengobatinya?[]
Tag : opini
0 Komentar untuk "Pendidikan dan Luka Peradaban"

Back To Top