Sekilas tentang Utuy Tatang Sontani


Utuy lagi ngudud

Oleh: Iryan Ali H.

Utuy Tatang Sontani merupakan salah seorang dramaturg besar yang dimiliki khasanah kesusastraan Indonesia. Sejak awal karir kepengarangan hingga tutup usianya, ia telah menulis 20 buku. Tiga belas diantaranya dalam kurun 1948-1965, sementara pasca-1965 hampir bisa disebutkan bahwa Utuy telah menulis tujuh karya meskipun kesemuanya itu sampai saat ini belum diterbitkan, kecuali otobiografi dan dua cerpennya (“Anjing”, “Di Bawah Langit Tak Berbintang” dan “Kolot Kolotok”). Yang belum terbit itu antara lain Bukan Orang Besar (1965), Pemuda Telanjang Bulat: Dongeng Tiga Malam (1979), Benih (TT), Tumbuh (TT), Berbicara Tentang Drama (TT) (Alex Supartono, Kalam No. 18/2001: 151).
Selain produktivitas karya yang menonjol dari sosoknya, Utuy juga merupakan bagian dari tokoh penting di dalam khasanah drama kesusastraan Indonesia. Meskipun ia dikenal bukan sosok yang akrab dengan dunia teater (Soebagio Sastrowardoyo, Siasat 5 Oktober 1957: 24-28), tetapi Utuy dikenal sebagai bagian penting dalam sejarah teater modern Indonesia yang ditunjukkan oleh gagasannya mengenai realisme di dalam teks dramanya pasca-1945.
Apabila sebelum 1945 drama dikenal tersekesan “romantik”, maka sejak diterbitkannya karya Utuy Awal dan Mira (1952), drama beralih menjadi realis. Karya Utuy merupakan jembatan yang menghubungkan masa lampau drama Indonesia ke masa yang lebih warna-warni (Sapardi Djoko Damono “Pendahuluan Jilid 3 Antologi Drama Indonesia: Revolusi, Kemerdekaan, Ketimpangan” Antologi Drama Indonesia, Jilid 3 1946-1968, 2006: XVII-XXIV). Hal itu pun sejalan dengan mulai popularitasnya gagasan realisme di dalam teater Indonesia. Banyak kelompok teater yang memainkan mengenai karya Utuy. Pada 1950-an, Utuy seolah menjadi nama “mainstream” di kalangan seniman teater Indonesia (M. Husyyn Umar, Siasat 14 November 1956: 24-28). Sastrawan besar realis Pramoedya Ananta Toer pun menyebutnya “dramaturg terbesar pada masa ini” (Pramoedya Ananta Toer, Siasat 7 September 1952).
Namun di luar karya drama, Utuy juga menulis cerpen dan novel. Tambera (1949) merupakan roman tentang kehidupan masyarakat Pulau Lontor Bandaneira yang kedatangan kongsi dagang Belanda VOC. Ada yang menyebut bahwa Tambera merupakan roman sejarah, ada pula yang mengatakan bahwa roman tersebut bukan roman sejarah karena anakronisme waktu dan ketidakpahaman penulisnya terhadap kondisi Pulau Lontor Bandaneira yang sebenarnya (M. R. Dajoh, Pandji Negara No. 2 Th. III 15 Mei 1949 & Harry Aveling, Bijdragen Tot de Taal, Land en Volkenkunde, 123, 1967: 361). Lepas dari semua itu, Tambera mendapatkan tempat sebagai roman yang menggambarkan sisi pelik kehidupan manusia saat kedatangan bangsa asing. Utuy tidak mendeskripsikan secara dikotomis, melainkan pergumulan para karakter tokoh-tokohnya. Hal itu menjadi ciri kepengarangan Utuy yang dapat menggambarkan pergumulan manusia di tengah karakter kepolosannya dan nila-nilai kehidupan.
Kumpulan cerpennya Orang-orang Sial (1951) merupakan karya realis Utuy lainnya tentang derita kemanusiaan di tengah revolusi dan kehidupan satire politik. Dalam hal ini, Orang-orang Sial dinilai punya orisinalitas humor dan cerita. Cerita “Lukisan” telah membuat sastrawan Asrul Sani terkesan sehingga menyejajarkan Utuy dengan Antonio Huxley (Asrul Sani, Siasat 18 Maret 1951). Dengan demikian, sejak kemunculannya, nama Utuy telah benar-benar besar dengan gagasan dan produktivitas karya sastranya.
Utuy Tatang Sontani lahir pada 13 Mei 1920 di Cianjur. Sebagaimana dikenang oleh kalangan menak Sunda di Priangan, Cianjur merupakan salah satu kota yang dikenal memiliki tradisi kesusastraan. Tembang Cianjuran merupakan bukti mengenai perkembangan kesusastraan di kota tersebut (M. A. Salmun, Indonesia No. 12/Th. IX Desember 1958: 489-505). Utuy besar dari lingkungan keluarga pedagang yang bergelar haji. Bapaknya bernama Haji Maksum merupakan seorang pedagang batik, pengusaha restoran, pemilik sejumlah pedagang kecil, dan juragan tanah di kampung kelahirannya yakni Desa Satuduit.
Oleh karena aktivitas dagang sang bapak, Utuy sempat berkeinginan untuk menjadi pengusaha kacang rebus. Tetapi, sang ibu yakni Urian tidak menyukai kegiatan dagang, karena dagang dinilai tidak selalu beruntung. Justru sang ibu menginginkan agar anaknya tersebut bersekolah dengan baik agar kelak bisa menjadi ambtenaar. Utuy bersekolah di Schakelschool, sekolah rakyat yang dikhususkan untuk petani, pedagang, ambtenaar rendahan dan buruh. Sekolah ini setingkat lebih rendah daripada HIS. Waktu itu, usaha dagang sang bapak tengah mengalami kesurutan, dan akibatnya Utuy harus puas disekolahkan ke Schakelschool, tidak seperti kakaknya bersekolah di HIS yang wafat masih muda akibat pes.
Sekolah di Schakelschool membuatnya tidak betah akibat pola belajar yang menekankan pada hapalan. Di samping itu, sekolah itu pun kerap mengaitkan kebodohan dengan asal-usul ras. Utuy tidak menyukai, dan akhirnya memilih keluar dari sekolah tersebut. Sekeluar dari sekolah tersebut, selama enam bulan Utuy mengalami masa-masa kebebasannya sebagai seorang anak kecil untuk bermain di lingkungan rumahnya seperti Rawa Peuti, Gunung Mananggel ataupun stasiun kota Cianjur (“Sastra jang terlahir di Tjiandjur” Bintang Timur 27 Oktober, 1 November, 10 November 1963). Pengalaman masa kebebasan bermain itu tergambar jelas dalam karakter sosok Tambera dalam romannya Tambera (1949). Enam bulan Utuy tidak bersekolah menyebabkan kekhawatiran sang ibu terhadap nasib anaknya. Akhirnya, Utuy dipindahkan ke sekolah Taman Siswa.
Di Taman Siswa, Utuy tampil menjadi seorang penulis. Pada kelas 5 ia telah diminta oleh kepala sekolahnya untuk menerbitkan majalah sekolah. Di Taman Siswa, setiap murid diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Saat memimpin penerbitan majalah itu, Utuy kerap menulis dalam bahasa Indonesia meskipun bahasa ibunya ialah bahasa Sunda. Dan, sejak kebiasaan menulis di majalah sekolah tersebut, hal itu tidak membuat Utuy canggung untuk menulis sajak di majalah-majalah nasional pada masa pendudukan Jepang atau pascakemerdekaan Indonesia.
Awal permulaan Utuy mengembangkan kepiawaian menulisnya ialah juga saat cintanya tak terbalas dari gadis tetangga rumahnya. Utuy mengenang bagaimana caranya agar ia dapat menarik perhatian gadis tetangga pujaan seusianya itu. Salah satu caranya ialah dengan menulis cerpen pada koran Sinar Pasoendan agar sang gadis mengetahui bahwa ia adalah seorang penulis. Seminggu berikutnya setelah dikirimkan ke redaksi Sinar Pasoendan, cerpen Utuy berhasil dimuat dan dibaca si gadis tetangga. Ternyata, cerpen tersebut berhasil membuat gadis pujaannya memberikan respek balik pada Utuy yang padahal sebelumnya sangat acuh terhadapnya. Itu membuat Utuy senang, dan menjadikannya untuk rajin mengirimkan tulisan ke Sinar Pasoendan.
Tidak hanya gadis pujaan itu yang respek terhadap Utuy akibat pemuatan cerpennya tersebut, melainkan sang paman gadis tetangga itu yang merupakan redaktur koran Sinar Pasoendan sekaligus sastrawan besar Sunda dan aktivis politik di Priangan mengirimi buku untuk Utuy. Buku tersebut ialah Minggat dari Digoel. Sang penulisnya ialah Wiranta, yang merupakan eks-Digulis pascaperlawanan PKI di Jawa Barat 1926. Utuy sangat menyukai buku pemberian sang paman si gadis, sehingga nama tokoh utama dalam Minggat dari Digoel pun digunakan Utuy sebagai nama belakangnya yakni Sontani.
Semenjak itu, Utuy mengembangkan sayap kepengarangannya. Di usia 18 tahun dan di tengah pergolakan cintanya terhadap seorang gadis Indo di Bandung, Utuy telah menulis Mahala Bapa dan Tambera pada 1938-an. Kedua cerita itu dimuat feulliton di kedua koran terbitan wilayah Priangan yang memiliki oplah besar yakni Sipatahoenan dan Sinar Pasoendan. Sejak usia 18 tahun itu, Utuy telah dikenal berkat Mahala Bapa dan Tambera-nya, meskipun hanya berlaku untuk kalangan berminat terhadap sastra dan mengerti bahasa Sunda.
Tambera diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1949. Mahala Bapa tidak pernah diterbitkan ulang. Menurut Utuy, hal itu dikarenakan sambutan terhadap Tambera lebih besar daripada Mahala Bapa (“Sastra jang terlahir di Tjiandjur” Bintang Timur 27 Oktober, 1 November, 10 November 1963).
Namun, di luar menulis roman, cerpen atau drama, Utuy juga menulis sajak. Tercatat ada tujuh judul sajak Utuy yang berhasil dipublikasikan. Jumlah itu bisa dikatakan tidak memadai untuk menjulukinya sebagai penyair, karena itu Utuy tidak pernah dikenal sebagai penyair. Sajak pertamanya dalam bahasa Indonesia dimuat di majalah Pandji Poestaka. Waktu itu, Pandji Poestaka merupakan bagian penerbitan Balai Pustaka yang sudah dimiliki oleh pemerintah pendudukan Jepang. Oleh karena sajaknya “Asia-Raya” menggambarkan ajakan persahabatan antara “saudara muda” dan “saudara tua”, maka Utuy diundang Gunseikanbu (Pusat Pemerintah Bala Tentara Jepang di Jawa) dalam acara pembentukan Poesat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidosho) di Jakarta, di mana Sanoesi Pane menjadi ketuanya.
Sepulang dari acara pembentukan Poesat Kebudayaan di Jakarta, Utuy diajak oleh dr. M. Moerdjani, gurunya di Taman Dewasa Bandung, untuk ikut aktif di dalam organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Priangan (Tjahaja, 6 Shigatsu 2603 / 6 Juli 1943). Utuy aktif sebagai anggota. Selain di Putera, Utuy juga aktif di dalam Kelompok Sastrawan Angkatan Baru cabang Priangan yang merupakan bentukan dari Poesat Kebudayaan. Di sini, ia menjabat sebagai ketua dan sekretarisnya adalah Kelana Asmara (A.S Dharta atau Klara Akustia) yang kelak menjadi Sekretaris Jenderal Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) (1950-1959). Sebagai ketua, ia kerap terjun aktif untuk mempersiapkan pertunjukan panggung kesenian, mulai dari reog, teater dan lainnya. Kemungkinan besar, saat masa itulah Utuy aktif sebagai seorang sutradara panggung untuk pertunjukan drama, sebagaimana diketahui bahwa Utuy banyak menulis naskah drama. Suling (1948) adalah lakon drama tentang kekaguman Utuy terhadap empat tokoh serangkai Putera (Soekarno, M. Hatta, K.H. Mas Mansyur, Ki Hadjar Dewantara) dan menggunakan personifikasi mereka dalam menghadapi dinamika perubahan struktur masyarakatnya.
Selepas Jepang menyerah kepada Sekutu di dalam perang Pasifik, maka di Indonesia terjadi proses peralihan kekuasaan. Tetapi, proses peralihan kekuasaan itu memakan korban. Hal itu yang membuat kota Bandung pada awal-awal kemerdekaan Indonesia telah menjadi bara perjuangan rakyat Indonesia melawan sisa tentara Jepang dan tentara tambahan Inggris (John R. W. Smail, 2010: 68-193). Dalam gejolak demikian, Utuy memilih mengungsi ke Tasikmalaya. Di Tasikmalaya ia menikah dengan putri wedana Ciranjang yakni Raden Asiah Tedjakaraton, dan bekerja di RRI. Selain itu, selama masa pengungsian, Utuy aktif mengirimkan beberapa sajaknya kepada majalah Gelombang Zaman di Garut yang dipimpin Achdiat Kartamihardja. Di antaranya, “Tanah Air” (Gelombang Zaman, No.21. Th.1 10 Juni 1946: 2) dan “Merdeka” (Gelombang Zaman, No.24. Th.1 1 Juli 1946: 7).
Bunga Rumah Makan (1948), Orang-orang Sial (1951) serta Awal dan Mira (1952) merupakan karya sastra Utuy yang memotret revolusi Indonesia. Mulai dari kisah percintaan anak muda, kisah tukang sol sepatu, tukang doger, dan penjaga rumah makan, merupakan gugusan cerita rakyat kecil yang menjadi objek kesusastraan Utuy.
Pada 1948, Utuy bersama keluarganya pindah ke Jakarta. Kedatangannya ke Jakarta dengan maksud ingin menerbitkan tiga naskah yang dipersiapkan sejak pendudukan Jepang. Antara lain Bunga Rumah Makan, Suling dan Tambera. Kesemuanya diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang waktu itu merupakan penerbitan terbesar di Indonesia.
Kemunculannya di Jakarta sempat meragukan kehadirannya sebagai sastrawan. Terbukti, tatkala Utuy ingin menerbitkan Tambera di penerbit Opbouw, yang waktu itu kepala redaksinya ialah sastrawan Idrus, langsung menolak naskah tersebut. Bahkan, tak sedikit kritikus sastra mengecam Tambera yang akhirnya diterbitkan Balai Pustaka sebagai roman sejarah karena dinilai anakronis dan penulisnya tidak mengetahui betul tentang objek sastranya di Pulau Lontor Bandaneira. Akan tetapi, apakah karya sastra melulu “berbicara” soal keakuratan data sejarah? Hal itu yang mendorong pula banyak kritikus memuji kekuatan deskripsi Utuy di dalam Tambera. Karena itu, tak sedikit kalangan menyambut kehadiran Utuy sebagai sastrawan Indonesia. Bahkan, selang tiga tahun setelah terbit pada 1949, Tambera pun mengalami cetak ulang kedua pada 1952.
Di Jakarta, ia bekerja pada majalah Gema Suasana yang merupakan anak perusahaan percetakan Opbouw dan dibiayai oleh pemerintah Belanda di Indonesia. Majalah Gema Suasana merupakan penerbitan kelompok intelektual Sjahrir di Jakarta, antara lain Chairil Anwar, Ida Nasution, Asrul Sani, Rivai Apin, dll. Utuy menggantikan posisi Chairil Anwar yang pindah ke majalah kelompok Sjahrir lainnya yakni Siasat. Gema Suasana hanya bertahan selama setahun. Sekuel Tambera pernah dimuat di Gema Suasana yakni “Persiapan” (Gema Suasana, No. 3 Maret 1948: 131-137).
Selepas dari Gema Suasana, Utuy bekerja pada Balai Pustaka sebagai redaktur bagian naskah dan majalah. Selain sebagai redaktur, Utuy semakin mengukuhkan dirinya sebagai sastrawan Indonesia. Awal dan Mira merupakan drama Utuy yang mendapatkan hadiah Juara I Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Menyusul pula drama-drama lainnya, seperti Manusia Iseng, Selamat Djalan Anak Kufur, Sayang Ada Orang Lain, Empat Manusia Kota, libretto Sang Kuriang, dan lainnya.
Dalam khasanah kesusastraan Sunda, Utuy pun sempat mengenalkan gagasan Barat terhadap cara pandang kesusastraan lama Sunda yakni cerita Sang Kuriang dan Si Kabayan. Dengan begitu, nama Utuy pun tak bisa dipisahkan dari perkembangan kesusastraan Sunda pascakemerdekaan. Bahkan cerita libretto Sang Kuriang-nya merupakan libretto pertama dalam khasanah kesusastraan Sunda (Ajip Rosidi, “Menggali Jang Lama” Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? 1964: 94-102). Jalan cerita mengenai Sang Kuriang yang ditulisnya, mirip tragedi pahlawan Oedipus di Yunani, pun diakui memiliki orisinalitas yang belum dimiliki penulis lain ketika itu. Begitupun cerita Si Kabayan-nya mulai mengadaptasi mengenai kehidupan masyarakat sezamannya sebagai ironi dan satire. Karena itu, barangkali sampai saat ini orang sulit melupakan peran Utuy di dalam khasanah kesusastraan Sunda.
Tak ada catatan resmi, entah sampai kapan Utuy bekerja di Balai Pustaka. Setelah itu, Utuy bekerja pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI sebagai Penatar Bahasa. Kala itu, dapat dikatakan bahwa Utuy memegang jabatan penting dalam instansi tersebut. Dan sebagai pejabat penting, tak jarang ia menjadi wakil pemerintah Indonesia dalam undangan forum kesusastraan internasional, seperti delegasi pengarang Indonesia ke Tiongkok (1957) dan Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tasjkent Uzbekistan (1958).
Sepanjang tahun 1950-an telah terjadi polarisasi gagasan kebudayaan di dalam kelompok seniman atau sastrawan Indonesia. Utuy mengalami perubahan gagasan dalam proses kreativitas kesusastraannya. Realisme Utuy bermetamorfosa menjadi realisme sosialis. Utuy telah dekat dengan kalangan sastrawan yang mengembangkan konsepsi kesusastraan realisme sosialis di Lekra. Dua karya sastra Utuy telah mendapatkan pujian para kritikus sastra Lekra yakni Si Kabayan (1959) dan Si Kampeng (1963) sebagai realisme reaksioner. Apabila sebelumnya karya sastra Utuy menggambarkan prihal tokoh-tokoh kesusastraannya yang polos, maka dengan gagasan realisme sosialisnya ia menegaskan peran sang tokoh sastra yang selalu ingin keluar dari kemelut masalah yang dihadapinya. Hal itu ditunjukkan oleh tokoh cerita Si Kabayan dan Si Kampeng. Selain itu, ada Si Sapar yang dinilai masih sebagai realisme potret karena berhasil memotret kisah cinta kehidupan tukang becak dan pelacur di Jakarta. Tetapi, kisah mati kedua orang itu tidak menunjukkan mengenai upaya tokoh cerita untuk keluar dari kemelut masalahnya.
Sejak tahun 1963, Utuy terlibat di Lembaga Sastra Indonesia Lekra. Beberapa kali diundang dalam acara kesenian atau kebudayaan yang diselenggarakan Lekra, baik di daerah maupun di Jakarta. Aktivitas dan pengaruhnya di Lekra memang tidak sebesar para pengurus Lekra lainnya, laiknya Njoto, A. S. Dharta, Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Boejoeng Saleh, Bakrie Siregar, dan lainnya. Dengan konsepsi realisme sosialisnya di Lekra, Utuy terbilang tidak produktif dalam menghasilkan karya sastra. Tetapi, aktivitasnya di Lekra telah menjadikannya aktif menulis esai mengenai konsepsi kesusastraannya. Semisal tampak dari konsepsi mengenai drama atau sastra Sunda (“Penulisan Drama Sebagai Bagian dari Teater” Bintang Timur, 17, 14, 21 April 1963. “Sastra Sunda sebagai Djurubitjara dua Kebudajaan” Harian Rakyat, 2, 9, 16, 23, 30 Agustus 1964).
Di akhir September 1965, Utuy ikut dalam rombongan yang menghadiri perayaan hari pembebasan nasional Tiongkok pada 1 Oktober 1965. Utuy turut serta dalam rombongan Lekra dan PKI, meskipun waktu itu yang berangkat berbagai kelompok dan wakil Pemerintah Indonesia. Tanggal 30 September 1965 meletus usaha kup yang dilakukan kelompok Letkol Untung dkk. Usaha kup itu memicu kampanye bahwa PKI sebagai aktor utama usaha kup. Dengan begitu, PKI dan “keluarga organisasinya” dilarang, orang-orangnya ditahan, dibunuh, dan para delegasi yang mengikuti acara di luar negeri tidak diperkenankan oleh Pemerintah, yang setelah meletus Peristiwa 30 September 1965 itu diisi oleh para purnawirawan atau perwira TNI AD, tidak pulang ke Indonesia.
Tanggal 30 November dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 mengenai daftar pelarangan buku. Bersama nasib 76 pengarang lainnya, karya-karya Utuy dilarang untuk dibaca atau diterbitkan. Utuy adalah orang kedua yang bukunya paling banyak dilarang Pemerintah setelah nama Pramoedya Ananta Toer. Peristiwa itu telah menandakan suatu peralihan kepemilikan panggung kesusastraan Indonesia. Gagasan mengenai kesusastraan realisme sosialis telah benar-benar tidak muncul di Indonesia pascapelarangan Lekra sampai saat ini.
Utuy sendiri sejak 1965-1973 berada di Tiongkok. Tak bisa pulang ke tanah air karena hidup di kamp pengasingan yang disediakan oleh Pemerintah Tiongkok. Sebelum 1965, Utuy adalah salah seorang pengarang Indonesia yang dihormati dan diterjemahkan ke dalam bahasa Tiongkok. Tercatat ada tiga karya sastranya yang diterjemahkan yakni Tambera (Tan Peila), Bunga Rumah Makan (Fan Tien Tsi Hua), dan Di Langit Ada Bintang (Tien Shang Yon Hsing-hsing). Sampai 1973, dengan alasan berobat ia pindah ke Uni Soviet, di mana beberapa karya sastranya pun diterjemahkan ke bahasa Rusia. Di sana ia mendapatkan kehormatan untuk menjadi dosen tamu pada Institut Bahasa-Bahasa Asing di Universitas Moskwa Uni Soviet. Tak sempat pulang ke Indonesia, pada 17 September 1979 Utuy wafat di Rusia akibat stroke dan dimakamkan di kompleks pemukiman muslim Rusia.
Sebagaimana dirinya menyebut sebagai rajawali yang kesepian di tengah keramaian, maka Utuy sepanjang menjelang akhir hayatnya telah benar-benar kesepian hingga wafat di tanah pengasingan. Meskipun kesepian di Uni Soviet akibat rindu terhadap keluarga di Indonesia dan pengucilan diri di antara eksil politik Indonesia lainnya, Utuy telah menulis 11 karya, diantaranya cerpen, roman, drama dan esai. Sayangnya, kesebelas karya itu belum diterbitkan di Indonesia. Sudah seharusnya, karya-karya Utuy itu mendapatkan kembali porsi penilaian yang sewajarnya di dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Utuy adalah peletak awal drama realisme. Dalam rangka meninjau kembali mengenai kehidupan dan karya sastra Utuy, maka diperlukan usaha penelusuran kembali mengenai karya-karyanya, menerbitkan ulang, meninjau gagasannya, serta mementaskan karya dramanya. Oleh karena itu, saat ini kita dimungkinkan untuk melakukan keperluan meninjau ulang dan menempatkan Utuy di dalam wacana pengetahuan sejarah kesusastraan Indonesia.
Pada 2002, beberapa karya Utuy sudah diterbtikan ulang oleh Balai Pustaka. Antara lain Tambera, Awal dan Mira, Suling, Sang Kuriang, Sayang Ada Orang Lain, dan lainnya. Penerbit Pustaka Jaya menerbitkan kumpulan memoarnya selama eksil di Tiongkok dan Uni Soviet yakni Di Bawah Langit Tak Berbintang (2001) serta Menuju Kamar Durhaka (2002). Akhir-akhir ini pula beberapa naskah drama Utuy mulai dipentaskan sebagai wacana perkembangan teater realis Indonesia. Tetapi, usaha itu belum cukup untuk menelusuri kepengarangan Utuy. Ada karya sastranya sepanjang tahun 1930-an yakni Mahala Bapa dan beberapa karya sastra selama pengasingannya belum diterbitkan. Dengan demikian, kita masih memerlukan waktu untuk membaca, mementaskan dan meninjau karya Utuy sebagaimana penilaian yang objektif terhadap dirinya tanpa tendensi politik kesusastraan tertentu. Itu diperlukan sebagai ikhtiar merangkum perkembangan ide-ide kesusastraan di Indonesia ke depan. []



Daftar Bibiliografi Utuy Tatang Sontani:

Buku:

Utuy Tatang Sontani. Di Bawah Langit Tak Berbintang. Jakarta: Pustaka Jaya. 2001.

------ --------- ---------. Tambera. Tjetakan kedua. Jakarta: Balai Pustaka. 1952. Balai Pustaka: 2002.

------ --------- ---------. Orang-orang Sial. Jakarta: Balai Pustaka. 1951.

------ --------- ---------. Si Kabayan. Jakarta: Lekra. 1959. 1961. 1963.

------ --------- ---------. Bunga Rumahmakan. Balai Pustaka: 1948. Bandung: Kiwari. 1962. Balai Pustaka: 2002.

------ --------- ---------. Si Kampeng. TP: Jajasan Kebudayaan Sadar. TT.

------ --------- ---------. Suling. Jakarta: Balai Pustaka. 1948. Balai Pustaka: 2002.

------ --------- ---------. Sangkuriang. Jakarta: Balai Pustaka. 1959. Balai Pustaka: 2002.

------ --------- ---------. Manusia Kota. Jakarta: Balai Pustaka. 1961.

------ --------- ---------. Awal dan Mira. Jakarta: Balai Pustaka. 1952. Balai Pustaka: 2002.

------ --------- ---------. Menuju Kamar Durhaka. Jakarta: Pustaka Jaya. 2002.

------ --------- ---------. Otobiografi: Utuy Tatang Sontani. TT.

------ --------- ---------. Si Sapar. Jakarta: Jajasan Kebudajaan Sadar. 1964.

------ --------- ---------. Sayang ada Orang Lain. Jakarta: Balai Pustaka: 2002.

------ ----------- ---------. Selamat Djalan Anak Kufur. Bukittinggi-Djakarta: N. V. Nusantara. 1963.


Sajak:
“Asia-Raya”, dalam majalah mingguan Pandji Poestaka, No.19 10 Maret 2603 (1943), hlm. 32.
“Dipanegara” dalam surat kabar harian Tjahaja, 8 Nigatu 2604 (8 Februari 1944).
“Tanah Air”, dalam majalah mingguan Gelombang Zaman, No.21. Th.1 10 Juni 1946, hlm. 2.
“Merdeka”, dalam majalah mingguan Gelombang Zaman, No.24. Th.1 1 Juli 1946, hlm. 7.
“Mahatma Gandhi”, dalam Mimbar Indonesia, No.13 27 Maret 1948, hlm. 6.
“Tuhanku”, ketikan mesin tik dan ada beberapa coretan. Mungkin naskah asli. Naskah ini didapatkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin.
“Tanah Air”, dalam Gema Suasana, September 1948, hlm. 522.
“Tuhanku”, dalam Mimbar Indonesia, No.19 8 Mei 1948, hlm. 29.
“Peking”, dalam Zaman Baru, No. 11-12 15-30 Juni 1961, hlm. 5

Prosa:
“Persiapan”, dalam Gema Suasana, No. 3 Maret 1948, hlm. 131-137. Salah satu fragmen dari Tambera (1949).
“Kamar Durhaka”, dalam Spektra, 19 Agustus 1949, hlm. 14-31.
“Koran” dalam Spektra, 29 April 1950, hlm. 20-22.
“Kekasih Pengelamun”, dalam Madjalah Aneka, No.9/Th.1 1960, hlm.
“Anjing”, cerpen eksil, 1975. 6 halaman. Diakses di PDS H. B. Jassin Jakarta.
“Pemuda Telanjang Bulat: Dongeng Tiga Malam”, 1979. 28 halaman. Naskah drama eksil Utuy TS. Diakses di PDS H. B. Jassin Jakarta.
“Mengapa Mengarang”, TT. Naskah memoar Utuy TS. 7 halaman. Diakses di PDS H. B. Jassin Jakarta.
“Haru Yang Tak Kunjung Kering”, TT. Naskah memoar Utuy TS. 6 halaman.  Diakses di PDS H. B. Jassin Jakarta.
“What Is In A Name”, TT. Naskah memoar Utuy TS. 5 halaman. Diakses di PDS H. B. Jassin Jakarta.
“Utuy Tatang Sontani: Otobiografi”, TT. Naskah memoar Utuy TS. 42 halaman. Diakses di PDS H. B. Jassin Jakarta.

Esai:
“Utuy Tukang Ramal & Menu Prantjis”, dalam Bintang Timur, 24 Maret 1963.
“Penulisan Drama Sebagian dari Teater”, dalam Bintang Timur, 17, 14, 21 April 1963.
“Kami melangkahkan kaki”, dalam Bintang Timur, 13 Oktober 1963.
“Sastra jang terlahir di Tjiandjur”, dalam Bintang Timur, 27 Okt, 1 Nov, 10 Nov 1963.
“Manusia didalam hasil sastra”, dalam Harian Rakjat, 19 Januari 1964.
“Hanja ada satu kebudajaan”, dalam Harian Rakjat, 8 Maret 1964.
“Pengarang Sunda harus berpihak buruh dan tani”, dalam Harian Rakjat, 17 Mei 1964.
 “Sastra Sunda sebagai djurubitjara dari dua kebudajaan”, dalam Harian Rakyat, 2, 9, 16, 23, 30 Agustus 1964.
“Semangat doger belum mati”, dalam Harian Rakyat, 6 Desember 1964.
“Selamat tinggal Unesco”, dalam Harian Rakyat, 31 Januari 1965.

Tag : Makalah
0 Komentar untuk "Sekilas tentang Utuy Tatang Sontani"

Back To Top