Dari Etnografi ke Netnografi


Kemajuan pesat teknologi digital menjadi tantangan khusus para marketer, agency advertising dan own broadbrand. Sebagaimana kita ketahui bahwa hampir sebagian besar masyarakat kita menggunakan teknologi digital. Saat bangun pagi, apa yang kita cari dan kita hadapi adalah layar atau screen pada handphone, televisi atau laptop. Itulah kenyataan kehidupan kita sehari-hari saat ini.

Dalam hal ini, bagi dunia marketing, kemajuan teknologi digital menjadi pesan penting arti perubahan. Budiman Goh, menyebutkan bahwa dalam menyikapi kemajuan teknologi digital itu, peluang bagi para merketer adalah untuk enggagement broadbrand product. Enggagement adalah proses kolaborasi many to many dan to many way. Many to many dimaksudkan agar proses kolaborasi dilakukan oleh banyak pihak untuk mendukung broadbrand product, atau dengan kata kalain broadbrand tidak bisa dilakukan hanya antarsatu pihak. Dan many to way adalah proses kolaborasi dengan banyak cara.

Misalnya, Budiman menyebutkan mengenai proses broadbrand yang bisa dilakukan pada social media network. Itu bisa dilakukan para own broadbrand untuk mengembangkan aplikasi yang menjadikan produk kita akrab dengan pengguna layanan social media. Ia menyebutkan mengenai banyaknya game di facebook. Menurutnya, para ownbrand bisa memanfaatkan para pembuat aplikasi game untuk mengakrabkan produk pada customer. “Apabila kita senang main game vampire wars, maka buah yang dimakan vampire bisa diganti dengan buahvita, agar para pemain game terkoneksi dengan buavita,” ujarnya.

Akan tetapi, menurutnya teknologi digital tidak bisa otomatis menjadi jaminan untuk membuat marketer langgeng berkiprah. Pasalnya, sebagaimana kita ketahui bahwa nasib friendster saat ini mulai ditinggalkan, beralih ke facebook dan twitter. Kini, facebook pun mulai jenuh dipakai para surfer. Pada tahap ini, menurut analis dari lembaga konsultan Inventure itu bahwa kita harus memahami perubahan yang terjadi. Adanya pola “migrasi” masyarakat pada dunia maya, maka para marketer perlu belajar netnogragfi.

Selain Budiman, ada juga pembicara lain dalam forum diskusi Indonesia Marketing Forum di Fx Nter Sudirman Jakarta (8/12) yakni Lulut. Bagi agensi periklanan JWT ini, teknologi digital bukanlah alasan mendasar untuk mengembangkan dunia advertising. Berkaca pada sifat manusia, maka menurutnya yang perlu diperhatikan oleh para marketer dalam membuat konsep iklan yang dapat meraup empati masyarakat. Empati merupakan sifat manusia. Ini sifat dasar yang harus terus dipahami oleh para marketer agar iklan yang dilaunch-nya berhasil meraih simpati masyarakat.

Ia misalnya memberikan contoh tentang dunia kreatif agency advertising di Korea Selatan. Agency di sana membuat layar berupa barang-barang produk belanjaan mall di gerbong kereta api. Dengan begitu, gerbong kereta api disulap tampak seperti di dalam mall. Orang-orang pun banyak menyaksikan kreativitas agency itu. Otomatis ini membawa perhatian besar pada masyarakat Korea Selatan sepulang kerja yang naik kereta api. Masyarakat Korea Selatan yang punya kecenderungan malas berbelanja ke mall, maka dapat memotret suatu produk dari handphone, menguhubungi mall agar delivered dari mall ke rumahnya. Pada tahap itu, menurut Lulut, bukan teknologi yang menentukan, melainkan cara para agency meraih empati masyarakat. Teknologi digital dimanfaatkan agar empati itu dapat dimaksimalkan secara powerful.

Dengan demikian, menurutnya pada para 250 orang marketer yang hadir dalam forum itu supaya bisa melakukan riset insight customer. Sehingga, kita dapat mengetahui psikografi masyarakat dan memudahkan para praktisi periklanan masuk agar iklannya bisa diterima masyarakat. Adanya teknologi digital memungkinkan masyarakat untuk dapat membuat iklan sendiri. Karena itu, kecerdasan marketer dalam memahami perubahan dan empati sangat diperlukan agar dunia agency advertising tidak mandek karena gagap menghadapi perubahan. Pada titik ini, memahami teknologi digital penting untuk marketer. Di samping itu, para marketer pun harus belajar etnografi.

Terlebih, dengan adanya fenomena Consumer 3000, pola prilaku konsumen pun semakin beragam dan bermacam keinginan. Consumer 3000 merupakan istilah yang dipopulerkan Yuswohady untuk menyebut fenomena bangkitnya kelas menengah masyarakat Indonesia saat ini. Consumer 3000 merujuk pada fenomena adanya kelas sosial masyarakat yang memiliki GDP 3000 $ per tahun per kapita. Hal ini adalah sinyalemen tingkat pendapatan dan pengeluaran masyarakat naik.

Di beberapa kota besar, kita menyaksikan sejumlah bandara krodit dan sempit karena banyaknya masyarakat yang mulai menggunakan pesawat. Jalanan mobil di Jakarta macet minta ampun, karena banyaknya masyarakat yang memiliki kendaraan, sementara kondisi jalan tidak bertambah. Ada kasus pingsan gara-gara blackberry. Indonesia menjadi pangsa pasar produk gadget dan smartphone yang menggiurkan. Angka penduduk yang banyak dan GDP meningkat, maka ini menjadi daya tarik pangsa pasar industri.
Bangkitnya kelas menengah ini ibarat tangan seorang wanita menepuk pundak laki-laki. Itulah sinyal bagi agency advertising untuk dapat memahami mengenai psikografinya. Kelas menengah sangat akrab dengan teknologi digital. Kelas menengah pun sangat akrab dengan community nya. Karena itu, pada titik ini, marketer harus mulai belajar etnografi dan netnografi. []
Tag : reportase
0 Komentar untuk "Dari Etnografi ke Netnografi"

Back To Top