A Doctor in Your Phone?



Dalam salah satu survei di Amerika Serikat, 8 dari 10 orang pengguna internet, rutin mencari informasi mengenai masalah kesehatannya. Mereka percaya atas informasi yang ada di internet. Sebagian besar dari mereka mencari informasi mengenai diet dan fitness. Masyarakat di Amerika sudah bisa dipastikan ingin adanya perubahan kebijakan kesehatan. Karena itu, sejak akhir tahun 1990-an, beberapa perusahaan swasta atau pemerintah mulai menggarap electrical medical record dan personal health record. Baik rumah sakit, yayasan, perusahaan asuransi maupun banking (Marion J. Ball, et.al., Banking on Health: Personal Record and Information Exchange, TT).
Di beberapa negara berkembang di Asia Selatan, Afrika dan Amerika Latin, industri kesehatan sudah maju. Indikasi kemajuan itu tampak dari adanya keseriusan perusahaan kesehatan dalam melayani masyarakatnya, baik disponsori oleh pemerintah ataupun independen. Usaha keseriusan pun mulai berbuah pada adanya transformasi pelayanan kesehetan: a doctor in your pocket. Dalam makalahnya, Gautam Ivatury et. Al., A Doctor in Your Pockte: Health Hotlines in Develoving Countries, (2009), layanan hotline kesehatan diberikan kepada masyarakat, khususnya orang miskin yang tinggal di pedesaan. Dalam studi kasusnya di empat negara berkembang, yakni Bangladesh, India, Mexico dan Pakistan, layanan hotline kesehatan memberikan kontribusi besar untuk masyarakat. Keempat negara itu mampu membaca kecenderungan kemajuan teknologi di tengah masyarakat, prilaku konsumsi masyarakat, kebutuhan masyarakat dan layanan kesehatan untuk masyarakat. Semua itu dirangkum dalam a doctor in your pocket.

Selama ini, bagi masyarakat pedesaan, layanan kesehatan merupakan sesuatu kebutuhan tersier. Apalagi untuk negara-negara berkembang yang tidak punya sumber daya melimpah. Karena itu, masyarakat di wilayah ini hampir sebagian besar percaya pada teknik pengobatan yang sudah turun-temurun ada di wilayahnya. Dukun masih populer. Tatkala, teknik pengobatan modern diterapkan di wilayah pedesaan, maka layanan kesehatan pun menjadi “aneh” dan barang mahal. Tak heran apabila layanan kesehatan modern jarang menjangkau pada masyarakat pedesaan. Barangkali, secara teoritik ekonomi, tipe masyarakat pedesaan berpenghasilan rendah dan no knowledgeable. Maka, tak heran, apabila di desa-desa, jarang ada layanan kesehatan, kalaupun ada itu milik Pemerintah yang jaraknya jauh dan layanan pun seadanya. Dukun sudah diganti, tapi layanan kesehatan modern masih jauh. Lalu, bagaimana cara mengobati masyarakat yang butuh pertolongan?

Tingkat kemajuan industry communication technology dan keterjangkauan produknya menjadikan masyarakat cerdas berpengetahuan. Saat ini, kita biasa menyaksikan masyarakat, baik di desa ataupun di kota sama saja, ICT savvy. Mereka menggunakan handphone, komputer PC, laptop, internetan, aktif di jejaring sosial media, dan sebagainya. Ini membuat mereka percaya diri, berpengetahuan dan punya daya beli (di luar kebutuhan primer). Hal itulah, yang dimanfaatkan oleh India, Bangladesh, Pakistan, Meksiko dan negara lain untuk memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat yang sudah akrab dengan teknologi.

Saat ini, masyarakat pedesaan di Bangladesh sudah terbiasa berkonsultasi mengenai kesehatan kepada dokter. Memang, fasilitas kesehatan tetap masih terkonsentrasi di kota-kota. Tetapi, masyarakat di desa bisa menelepon kapanpun dan dari manapun untuk berkonsultasi dengan dokter. Dengan layanan hotline, para ibu di Bangladesh terbiasa bertanya mengenai kesehatan anaknya, apabila sakit obatnya apa, harus dibawa ke mana, dan lain-lain. Di ujung telepon, akan selalu ada dokter yang menjawab pertanyaan atau keluhan masyarakat dalam waktu 24 jam, dan akan merekomendasikan obatnya apa, bagaimana cara mendapatkan obatnya, serta dokter itu akan input data electronic medical record ke fasiltas-fasilitas berkenaan kesehatan, seperti apotik, rumah sakit, perusahaan asuransi, klinik, dll. Dengan begitu, masyarakat tetap bisa dalam kondisi aman, karena riwayat sakit yang dikeluhkan sudah ditulis dalam bentuk EMR, rumah sakit tinggal mengecek ulang, mengirim EMR ke apotik untuk rujukan obat, serta klaim ke pihak asuransi. Masyarakat membayarnya dengan per rate time pulsa prabayar. Dengan cara demikian, apakah masyarakat merasa keberatan? Rasanya tidak, meskipun mereka hidup bertani di Bangladesh, karena handphone dan pulsa bukanlah barang mahal lagi.

Berkaca dari Bangladesh, bagaimana dengan fasilitas layanan kesehatan masyarakat di Indonesia? Rasanya fasilitas kesehatan di negeri ini masih ekslusif dan mahal. Meskipun, kita menyaksikan industri kesehatan di Indonesia sedang tumbuh. Saat ini, muncul klinik-klinik atau laboratorium kesehatan umum yang dibuka di kota-kota besar dan kecil dengan layanan teknologi tidak jauh beda dengan rumah sakit besar. Tetapi, layanan kesehatan ini masih terkesan untuk lapisan ekonomi masyarakat menengah ke atas. Sementara itu, masyarakat di pedesaan atau orang miskin di perkotaan, masih mengandalkan layanan kesehatan Pemerintah. Mereka masih mengandalkan Puskesmas atau RSUD, yang bisa menerima Jamkesmas atau Jamkesda. Itupun dengan risiko mengurusnya yang ribet, atau malah salah urus. Seperti kasus di Kulon Progo, seorang ibu harus melahirkan disesar karena tidak punya uang untuk membayar persalinan, sementara Pemerintah menyediakan Jampersal gratis asalkan perutnya dibeleh.

Di negeri ini, pengeluaran pendapatan untuk kesehatan masih kecil. Jauh di bawah pengeluaran untuk konsumsi makan-minum, rokok dan pulsa. Artinya, orang masih enggan mengeluarkan uang untuk perawatan kesehatan, sementara uangnya tidak masalah dikeluarkan untuk rokok dan pulsa. Padahal, dengan fenomena tumbuhnya kelas menengah di masyarakat (Kompas 19-24/12), bahwa jenis masyarakat ini semakin sadar dengan kesehatan. Lihat saja di Jakarta, orang makin resistance dan benci terhadap para perokok, atau para ibu rajin berbelanja susu kemasan di mal untuk anaknya. Atau juga, makin banyaknya orang-orang yang doyan lari di sekitaran Jalan Sudirman sembari nongkrong di mal FX. Pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di tingkat kelas menengah, ada kesadaran kesehatan yang tinggi. Dengan demikian, tak mengherankan apabila berbanding lurus dengan pesatnya industri kesehatan dan pengguna asuransi.

Kemungkinan besar hal itu dapat dimanfaatkan industri provider network Indonesia untuk masuk ke industri kesehatan. Bukan tidak mungkin, dengan adanya data kenaikan 18% per tahun pengguna internet dapat dimanfaatkan untuk aplikasi konten kesehatan. Itu juga bisa dimanfaatkan untuk telemedicine. Dengan demikian, di saat masyarakat sudah terkoneksi dan akrab dengan handphone, industri kesehatan pun dapat kerjasama dengan provider untuk mengakrabkan kesehatan. Potensi kemajuan industri eHealth ini sangat besar, mengingat populasi penduduk Indonesia yang besar pula. Apabila di Bangladesh ada pemeo “doctor in your pocket”, maka mengapa tidak mungkin di Indonesia “doctor in your phone”?
0 Komentar untuk "A Doctor in Your Phone?"

Back To Top