7 Ikon C3000


Apabila kita review sepanjang tahun 2013 kemarin, maka dapat kita simpulkan ada beberapa kategori produk tertentu yang identik dengan gaya hidup konsumen kelas menengah Indonesia. Barangkali bisa disebut sebagai 7 ikon C3000. Sebagaimana definisi Bank Dunia bahwa kelas menengah adalah orang yang memiliki pengeluaran US$2-20 per kapita per hari. Yuswohady dalam bukunya menyebut konsumen kelas menengah sebagai Consumer 3000, yang memiliki dimensi karakteristik utama: daya beli (resources), pengetahuan (knowledgebility), dan koneksi sosial (social connected).

Ketika kelas menengah memiliki ciri dan pengertian di atas, maka kita akan melihat beberapa kategori produk tertentu yang sangat identik dengan kelas ini. Apa saja itu? Antara lain smartphone, e-commerce, travel, asuransi & investasi, kartu kredit, entertainment, dan convenience store. Ketujuh kategori produk ini sangat identik dengan tiga karakteristik utama kelas menengah yang di atas tadi yakni kartu kredit mencerminkan daya beli, smartphone merepresentasikan koneksi sosial, dan asuransi/investasi dan entertainment mencerminkan wawasan. Namun, sebenarnya, keterkaitan antara karakteristik utama dan kategori itu tidak secara mutlak dan saklek, karena satu sama lain bisa saling kelindan. Hanya saja, untuk memudahkan contoh, saya coba kaitkan.

Dengan identifkasi di atas, maka di bawah ini akan kita bahas bagaimana iconic brands yang identik dengan konsumen kelas menengah.

Smartphone
Menurut BBC, dari total 220 juta pengguna ponsel di Indonesia, di antaranya adalah 44,6 juta pengguna smartphone, dan sisanya yakni 176,6 juta feature phone. Dengan besarnya angka pengguna smartphone di Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa smartphone semakin menjadi preferensi konsumen kelas menengah untuk komunikasi dan mobile internet. Pada tahun 2012, pengguna smartphone mencapai 12% dari total populasi dan naik menjadi 24% pada 2013. Artinya, dalam kurun setahun, pasar smartphone Indonesia tumbuh 100% (Grafik 1). Bahkan, menurut eMarketeer, sampai tahun 2017 pengguna smartphone di Indonesia akan mencapai 103,6 juta pengguna alias sekitar 39,8% dari total populasi.


Grafik 1. Smartphone Tumbuh 100%

Tak heran jika global brand gencar masuk ke Indonesia untuk mempromosikan smartphone buatannya. Merek-merek seperti Samsung, iPhone, HTC, Sony, Blackberry, Nokia, Cross, Oppo, dll, menguasai pasar smartphone Indonesia. Android dan iOS menjadi dua operating system terbesar yang menguasai pengguna smartphone Indonesia (Diagram 2). Lalu dibelakangnya adalah Blackberry, Microsoft, dan Symbian.

Diagram 2. Android dan iOS Menguasai OS Smartphone di Indonesia

Mengapa begitu cepatnya akselerasi pengguna smartphone di Indonesia? Pasalnya adalah konsumen kelas menengah haus akan koneksi internet. eMarketeer menemukan bahwa 76% responden memanfaatkan internet ialah untuk kepentingan social network. Tak aneh apabila Indonesia pun menempati urutan kedua pengguna Facebook terbesar di dunia, Twitter ke-4 terbesar, LinkedIn ke-12, dll. Penetrasi internet di Indonesia yang tinggi dan kebutuhan akan social network, maka mereka merasa membutuhkan ponsel pintar yang bisa memenuhi keinginannya. Smartphone adalah solusinya.

E-commerce
Tahun ini diperkirakan nilai transaksi e-commerce di Indonesia akan tembus sampai US$ 290 juta dengan jumlah 10.743.000 orang yang bertransaksi, seperti tampak pada tabel di bawah ini. Fantastis. Seiring tumbuhnya konsumen kelas menengah dan penetrasi internet, maka bisnis e-commerce akan sangat menjanjikan dan menguntungkan. Mengapa? Dengan kemudahan dan kenyamanan, konsumen kelas menengah akan memilih bertransaksi di e-commerce untuk memenuhi berbagai barang keperluannya, semisal baju, sepatu, gadget, buku, personal care, tas, DVD, dll. Meskipun, salah satu faktor yang menjadi barrier konsumen Indonesia belanja di e-commerce adalah faktor kepercayaan.

Tabel 3. Transaksi E-commerce Tahun 2014 Diperkirakan Mencapai US$ 290 juta

Uniknya, karena faktor kepercayaan ini, keputusan pembelian konsumen kelas menengah di e-commerce berpengaruh terhadap dua hal. Pertama, jenis barang yang dipilih relatif lebih murah harganya, seperti sepatu, kaos, tas, personal care, dll. Jika terjadi penipuan, maka uang yang hangus pun tidak begitu banyak. Kedua, metode pembayaran di e-commerce masih dominan mengandalkan transfer ke bank atau cash on delivery (COD). Dengan dua hal itu, maka konsumen kelas menengah pun merasa aman tenang tanpa harus rasa khawatir.

Meskipun demikian, toh banyak konsumen kelas menengah memilih untuk berbelanja di e-commerce. Karena itu, tak heran apabila banyak e-commerce yang berjaya menggarap segmen kelas menengah ini, yakni Bhinneka, Lazada, Rakuten, Tokopedia, DealKeren, Tokobagus, dll.

Travel
Apabila melihat tren jumlah frekuensi penerbangan pesawat yang sibuk, peningkatan jumlah pemesanan kamar hotel, macet di berbagai lokasi wisata, tumbuhnya industri travel agent, dll, maka hal ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia memang haus akan liburan. Setiap kali ada kesempatan hari libur nasional, maka sebisa mungkin mereka akan pergi berlibur, bahkan kadang harus rela ambil cuti kerja agar liburannya terasa panjang. Mereka benar-benar haus akan liburan, baik domestik (inbound) maupun mancanegara (outbound).

Mengapa? Salah satu pendorong haus akan liburan adalah kemampuan daya beli yang mulai tinggi (high buying power), rasa kepedulian terhadap keluarga, terkoneksi dengan internet, program promosi atau paket liburan travel agent yang menarik (misalnya paket year-end holidays), dll, sehingga mereka sangat antusias menyambut liburan.

Tabel 4. Pengeluran Rutin Bulanan Hiburan Relatif Tinggi

Traveling adalah satu fenomena industri yang mengalami pertumbuhan eksplosif luar biasa karena didorong oleh kelas menengah. berdasarkan hasil survei Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS) tahun 2013 bahwa masyarakat kelas menengah memiliki pengeluaran rutin bulanan untuk liburan yakni 7,3% (Tabel 4). Hal ini mengindikasikan bahwa selalu ada uang yang sengaja dialokasikan untuk liburan, menonton film, ataupun lainnya. Jika melihat fakta demikian, maka tak heran apabila liburan dan hiburan makin penting di mata kelas menengah.

Dari sisi destinasi traveling masyarakat Indonesia ke depan akan didorong oleh liburan ke luar negeri (outbound). Mengapa? Karena masyarakat Indonesia mulai mengarah menjadi konsumen cerdas alias value-seeker. Kini, dengan maraknya penerbangan low cost carrier, maka masyarakat Indonesia mulai mencari-cari tempat wisata di luar negeri yang terjangkau secara biaya, dan secara imej dapat dinilai keren.

Di bawah ini adalah data analisa Wego terhadap perilaku pencarian tempat wisata oleh masyarakat Indonesia di internet. Kini, kesadaran masyarakat mencari kesempatan liburan ke luar negeri semakin tinggi. Sedangkan wisata di dalam negeri makin turun, meskipun sampai saat ini masih paling dominan.

Tabel 5. Outbound Makin Diminati

Apabila dilihat berdasarkan negara tujuan, umumnya masyarakat Indonesia mencari tempat wisata luar negeri yang sekiranya masih terjangkau. Di bawah ini adalah data Euromonitor mengenai negara tujuan traveler Indonesia ke luar negeri dari tahun 2005 sampai 2010. Singapura menempati peringkat pertama, yang kemudian disusul oleh Malasyia, Arab Saudi, Cina, dan Hong Kong. Dengan demikian, Asia masih mendominasi sebagai negara tujuan wisata luar negeri masyarakat Indonesia. 

Tabel 6. Destinasi Wisata Luar Negeri Orang Indonesia


Di samping wisata untuk mencari kesenangan, orang Indonesia pun kerap melakukan wisata outbound untuk keperluan berobat. Malasyia dan Singapura menjadi potret dua negara yang kerap kebanjiran medical tour orang Indonesia. Euromonitor mencatat bahwa tahun 2012 saja ada 600.000 orang Indonesia yang medical tour di Malasyia. Jumlah itu adalah sekitar 69% dari total medical tourist yang ke Malasyia. Jumlah yang fantastis mengingat uang yang lari ke Malasyia pun mencapai US$ 1,4 miliar. Dengan demikian, orang Indonesia adalah penyumbang penting pertumbuhan medical tourism di Malasyia yang ke depan diperkirakan akan tumbuh rata 15% per tahun.



Asuransi & Investasi

Salah satu tren industri yang akan tumbuh pesat ke depan adalah produk/layanan finansial (bank, asuransi, multifinance). Berdasarkan studi McKinsey (2012) bahwa pada 2030 nanti industri finansial akan mengalami pertumbuhan dua kali lipat dibandingkan saat ini. Mengapa? Karena munculnya kesadaran konsumen kelas menengah terhadap layanan produk finansial semakin tinggi yang didorong oleh kepedulian mereka akan masa depan hidupnya. Mereka berpikir secara futuristik untuk mengelola risiko dan melipatgandakan aset yang dimiliki. Karena itu, mereka membutuhkan produk perbankan, asuransi, dan investasi.


Berdasarkan hasil studi CMCS pada November lalu bahwa konsumen kelas menengah memiliki pengeluaran rutin bulanan untuk tabungan sebesar 15,6%, asuransi 6,8%, dan investasi 3,1% (Tabel 7). Mereka mulai mengatur keuangannya untuk perencanaan masa depan dengan cara ditabung, pengamanan risiko, dan pelipatgandaan aset. Tujuannya adalah agar mereka segera mencapai keamanan finansial di masa depan.

Tabel 7. Pengeluaran untuk Tabungan dan Investasi Mencpai 25,5%

Untuk produk asuransi, produk ini makin populer di kalangan kelas menengah dikarenakan adanya keinginan mengelola risiko di masa depan. Apabila masyarakat kelas bawah cenderung menabung uang untuk mengantisipasi risiko, maka beda halnya konsumen kelas menengah yang sadar risiko (risk awareness) dan telah memahami benefit produk asuransi untuk meminimalisir risiko di masa depan. 

Hasil temuan survei CMCS menunjukkan bahwa hampir 70% anak muda (20-29 tahun) telah menggunakan produk asuransi. Dari seluruh jumlah populasi responden (1.532), total responden anak muda sendiri adalah berjumlah 276 (18%). Dari total jumlah responden anak muda itu, hampir 70% atau sekitar 193 responden menggunakan produk asuransi dengan pengeluaran rutin bulanan 7,2% untuk asuransi. Apabila mereka memiliki pengeluaran Rp4.000.000 per bulan., maka mereka memiliki pengeluaran Rp280.000 per bulan untuk asuransi. Dengan melihat jumlah prosentase dan besaran pengeluaran untuk produk asuransi itu, maka hal ini mengindikasikan bahwa mereka memiliki kemampuan daya beli yang tinggi dan mereka tidak lagi hanya berpikir untuk konsumsi semata, melainkan makin ngerasa penting untuk mengelola aset dan merencanakan masa depan.

Sementara itu, dalam hal produk investasi, konsumen kelas menengah telah muncul kesadaran untuk berinvestasi, meskipun cenderung main aman alias konservatif. CMCS memetakan profil investasi menjadi 4 hal, yakni konservatif, seimbang, berkembang, dan agresif. Keempat profil investasi ini sangat ditentukan oleh tingkat risiko (risk) dan keuntungan (return) yang ingin didapat.

Berdasarkan hasil survei yang kami lakukan, sebagian besar atau 59,5% responden adalah tipe konservatif. Berinvestasi pada instrumen-intrumen kecil dengan harapan mendapatkan return yang memadai, seperti emas dan properti. Dengan kata lain, mereka dapat disebut sebagai pemain pemula atau pemain yang ingin main aman. Sementara itu, tipe perilaku investasi yang seimbang ialah 27,7%, berkembang 4,3%, dan agresif 0,1%.  

Tabel 8. Tipe Investasi Kelas Menengah Ialah Konservatif

Konservatif: Saya tidak ingin mengambil risiko atas uang saya dan kehilangan modal pokok.
Seimbang: Saya berani mengambil sedikit risiko tetapi tetap ingin melindungi nilai uang saya dari penurunan 
Berkembang: Saya berani mengambil risiko dengan investasi jangka panjang untukmendapatkan hasil yang tinggi 
Agresif: Saya berani mengambil risiko tinggi, dan saya berani kehilangan uang sayauntuk hasil investasi yang lebih tinggi 

Kartu Kredit
Kartu kredit tampaknya masih jadi andalan bank untuk mengincar segmen kelas menengah. Mengapa? Ketika kelas menengah semakin konsumtif, gaya hidup branchless atau cashless, dan merasa tidak "berdosa" untuk berhutang, maka mereka pun makin konsumtif. Ingin smartphone, mereka bisa membayar cicilan dengan kartu kredit tanpa agunan. Setiap kali transaksi makan, mereka pakai kartu kredit untuk mendapatkan diskon. Kartu kredit mampu memenuhi hasrat mereka untuk mengakses segala fasilitas dan barang mewah yang diinginkan. Kadang, ketika barang mewah yang ingin diakses tidak mampu dibeli secara tunai, maka cicilan melalui kartu kredit menjadi alasan paling logis. Maka, muncullah budaya “buy now, pay later”.

Tabel 9. Kartu Kredit Jadi Alat Setiap Transaksi

Kartu kredit pun menjadi representasi dari “kartu pintar” (smart card) yang memudahkan setiap orang belanja dan menggunakannya kapanpun dan dimanapun bertransaksi, seperti pada tabel di atas. Transaksi menjadi sangat lebih mudah, efektif, dan efisien. Dengan begitu, dengan merasa tanpa berdosa, mereka bisa kapanpun dan dimanapun untuk menggunakannya tanpa perlu menggunakan uang tunai. Uang tunai dirasa masih ada keterbatasan: nilai yang terbatas, rasa eman untuk mengeluarkannya jika belanja dengan nilai banyak, dan kurang praktis. Dengan demikian, tidak mengherankan kalau di tahun ini, kartu kredit sangat digemari dan penetrasinya mencapai 4%.

Tabel 10. Setiap Tahun Nilai Transaksi Kartu Kredit Naik

Sampai Oktober tahun 2013, menurut data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, nilai transaksi melalui kartu kredit mencapai Rp 179,5 triliun, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Tetapi, dari sisi penggunaan, kartu kredit mengalami peningkatan jumlah pengguna, meskipun tidak begitu signifikan. Jumlah pengguna dan nilai transaksi yang besar, maka bisnis kartu kredit tetap menjadi seksi.

Tabel 11. Jumlah Pengguna Kartu Kredit Naik Setiap Tahun


Entertainment

Jika pada tahun 1990-an promotor musik musisi asing di Indonesia yang terkenal adalah hanya Java Musikindo, maka saat ini ada sekitar 30 promotor yang namanya berkibar seiring pertumbuhan industri konser musik Indonesia. Mengapa? Tumbuhnya industri promotor musik di Indonesia tidak lepas dari pertumbuhan konsumen kelas menengah. Mereka memiliki daya beli tinggi yang siap membeli tiket konser musik yang dijual berapapun oleh promotor. Mulai dari 350.000-5 juta laris bak kacang goreng. 



Oleh karena itu, tak heran jika kita populer dengan nama-nama promotor konser musisi asing di Indonesia, seperti Bid Daddy, ShowMaxx Entertainment, Mahota Promotion, Marygops Studios, StarD Protainment, Blackrock Entertainment, Berlian Entertainment, Dyandra Entertainment, dll, yang pekerjaannya mengundang musisi asing untuk manggung di Indonesia. 


Para promotor ini adalah yang mereguk manisnya pertumbuhan industri konser musisi asing di Indonesia. Industri konser musik Indonesia itu sendiri dinilai sebagai terbesar kedua di Asia, setelah Jepang. Sebab itu, tak heran jika dalam setiap tahun, Indonesia dapat kebanjiran musisi asing hingga 70 konser per tahun, dan per bulan sekitar 6 konser musisi asing. Berdasarkan data Creative Disc bahwa tahun lalu saja ada 70 konser musisi asing di Indonesia, seperti Air Supply, Aerosmith, Lenka, Mika, Super Junior, Metallica, Pitbull, dll. Tiket mereka laris. Tahun 2014 ini, diperkirakan yang akan konser adalah Avril Lavigne, Bruno Mars, Taylor Swift, Justin Bieber, One Direction, dll.

Tabel 12. Rata-rata 70 Konser Musisi Asing Setiap Tahun di Indonesia

Sementara itu, dari sisi sinema, tampaknya konsumen kelas menengah semakin haus dengan tayangan yang lebih berbau wawasan, tidak lagi menyukai genre film horor. Mereka menyukai film dengan genre-genre biografi, realitas sosial, sejarah, cerita novel, dan lain-lain. Film Habibie-Ainun, Laskar Pelangi (1& 2), Sang Kiai, Soekarno, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, dll, adalah beberapa contoh film box office Indonesia dengan jumlah penonton di atas 500 ribu. Sedangkan film horor makin ditinggalkan, dan tidak lagi menjadi box office, meskipun secara jumlah masih mendominasi.

Convenience Store
7-Eleven, Lawson, Circle K, Family Mart, dan Indomaret Point, adalah beberapa contoh convenience store yang sangat identik dengan fenomena kehadiran konsumen kelas menengah urban. Convenience store ini menjadi meeting point dan melting pot mereka untuk “kopi darat”. Mereka terkoneksi satu sama lain, agar menjalin pertemanan lebih dekat. Atas dasar kebutuhan terkoneksi secara sosial, maka convenience store pun sukses membidik segmen konsumen kelas menengah.

Salah satu pendorong pesatnya perkembangan convenience store adalah anak muda. Mereka memiliki kebutuhan terkoneksi secara komunitas, akses terhadap internet, dan budaya nongkrong laiknya di kafe dengan harga terjangkau. Setiap harinya, per gerai 7-Eleven dikunjungi oleh 1000 orang, dan total jumlah gerai 7-Eleven di Jakarta adalah 122. Tahun 2012, ada 84 gerai Lawson. Dan lainnya.

0 Komentar untuk "7 Ikon C3000"

Back To Top