Konsumen Muslim

Sebulan menjelang Ramadan, suasana bulan suci itu sudah terasa di ruang keluarga kita. Apa tanda-tandanya? Iklan-iklan di televisi nasional sudah dipenuhi berbagai produk yang berkaitan dengan konsumen muslim dan “khas Ramadan” seperti sirup, biskuit, fesyen (sarung, baju koko, baju muslimah), bank syariah, obat maag, dan lainnya. Dengan intensitas tinggi, iklan-iklan itu menghadirkan suasana Ramadan di tengah-tengah ruang keluarga menjadi nyata.

Marhaban ya Ramadan. Bulan Ramadan sudah terasa nyata dan berbagai iklan produk muslim pun makin gencar “memborbardir” pasar konsumen muslim mengenai keunggulan mereknya. Mereka rela mengeluarkan uang besar untuk beriklan demi menarik hati (customer attraction) konsumen muslim agar mau membeli produk yang mereka promosikan. Hampir semua slot televisi dipenuhi oleh iklan-iklan yang berkaitan dengan konsumen muslim seperti makanan-minuman, bumbu masak, kosmetik, fesyen (sarung atau baju muslim), bank syariah, asuransi syariah, travel haji/umroh, otomotif, smartphone, dan lainnya.

Para pemilik merek itu sadar bahwa pasar konsumen muslim sangat besar. Mereka rela mengeluarkan uang sebesar-besarnya untuk mendapatkan nilai penjualan yang besar pula dari pasar konsumen muslim. Tak hanya para pemain lokal yang memanfaatkan ceruk pasar konsumen muslim ini, pemain global (global company) pun ikut menggarap pasar tersebut. Mereka melakukan komunikasi pemasaran dengan sangat intensif demi menggaet hati konsumen muslim ini.

Pasar Besar
Berdasarkan hasil sensus BPS tahun 2010, jumlah muslim Indonesia mencapai 87% (206 juta jiwa) dari total populasi penduduk Indonesia 237 juta jiwa. Jumlah ini sangat besar dan terbesar di dunia. Melihat besarnya jumlah populasi muslim di Indonesia, maka tak heran jika banyak merek mengeluarkan biaya iklan besar-besaran di bulan puasa untuk mendorong pembelian.

Melihat besarnya pasar konsumen muslim ini, berbagai merek pun ingin masuk dan mengambil positioning di mata konsumen muslim. Wardah adalah merek kosmetik yang berhasil menggaet hati konsumen muslim dengan menciptakan positioning sebagai kosmetiknya muslimah. Melihat keberhasilan Wardah mengambil hati konsumen muslim, maka berbagai merek kosmetik lainnya seperti Martha Tilaar, Mustika Ratu, Revlon, dll., pun berusaha melakukan komunikasi pemasaran agar diterima konsumen muslim. Para pemain kosmetik pun semakin sadar pentingnya logo halal di kemasan produk.

Wardah: Cantik ala Muslimah

Selain Wardah, ada banyak contoh merek yang memanfaatkan momentum besarnya pasar konsumen muslim tersebut seperti perbankan syariah, fesyen muslim, produk makanan-minuman, travel (umroh), penerbitan buku, dan lainnya. Untuk contoh fesyen, bisa kita saksikan bagaimana berkembangnya hijabers dan pesatnya industri fesyen muslimah. Kini muncul berbagai merek fesyen muslimah seperti Dian Pelangi, Meccanism, Normamoi, Aprilia, Irna La Perle, Rabbani, Zoya, Shafira, dan lainnya. Belum lagi, kini bermunculan hijab online store seperti hijup.com, mosaicht.com, shafira.co.id, dan lainnya.

Branded Product
Para pemilik merek (brand owner) kian sadar menggunakan brand ambassador terkenal untuk membidik target market konsumen muslim. Contoh aktual adalah iklan sebuah sarung dengan brand ambassador Nicolas Saputra. Mengapa iklan sarung pun menjadi penting menggunakan brand ambassador untuk program promosinya? Padahal sebelumnya iklan sarung hampir tidak ada yang menggunakan brand ambassador artis terkenal dan muda.

Adanya brand ambassador bertujuan untuk menciptakan persepsi di mata konsumen mengenai merek tersebut demi mendorong penjualan. Keberadaan Nicolas Saputra sebagai brand ambassador mengubah persepsi sarung yang tadinya sekadar pakaian ibadah, kini menjadi lebih cool. Dengan demikian, sarung pun tidak sekadar produk komoditas semata, melainkan menjadi produk bermerek yang dipersepsikan bagus dan punya nilai emosional karena dipakai Nicolas Saputra.

Begitupun pada iklan-iklan fesyen muslim lainnya seperti hijab. Dalam promosinya, para pemilik merek hijab kian sadar menggunakan brand ambassador seperti Alyssa Soebandono, Zaskia Adya Mecca, Inneke Koeshewati, Dewi Sandra, dan lainnya. Hijab pun tidak sekadar kerudung semata yang digunakan untuk memenuhi kewajiban agama menutup aurat, melainkan menjadi fesyen yang cool, colorful, dan modis.

Brand Ambassador Hijab: Cantik, Sholehah, dan Trendi

Kehadiran para brand ambassador ini semakin penting agar produk-produk muslim ini dipersepsikan sebagai produk bermerek (branded product). Para pemilik merek sadar bahwa seiring naiknya daya beli konsumemn muslim, mereka membutuhkan persepsi produk yang bermerek. Produk tidak sekadar dilihat memiliki nilai fungsional semata, melainkan memiliki kekuatan emosional juga. Dengan demikian, ketika konsumen menggunakan hijab merek Dian Pelangi akan berbeda nilai pride dan privilege dibandingkan hijab yang dibeli di pasar Tanah Abang.

Jika produk bermerek dirasa sudah semakin penting di mata konsumen muslim, maka gaya hidup konsumtif pun akan semakin kencang. Apalagi dengan adanya ledakan jumlah konsumen kelas menengah muslim (middle-class boom), maka mereka akan mengincar produk-produk bermerek untuk menunjang gaya hidup mereka di bulan Ramadan dan Lebaran nanti. Mereka akan sangat menjadi konsumtif.

Lingkaran Setan Konsumsi
Naiknya daya beli konsumen muslim, kebutuhan akan produk bermerek, dan gencarnya iklan produk-produk yang mengincar konsumen muslim menciptakan “lingkaran setan” gaya hidup konsumtif pada masyarakat Indonesia. Konsumsi berbagai barang dan makanan-minuman naik pesat dibandingkan hari-hari biasa non-puasa dan Lebaran. Umpamanya, buka puasa menjadi ajang “balas dendam” setelah seharian menahan makan-minum. Mereka membeli berbagai produk makanan-minuman enak dan sehat untuk memenuhi nafsu “balas dendam”. Tak heran jika bulan suci Ramadan kerap dikaitkan dengan bulan konsumtif konsumen muslim.

Melihat perilaku dan besarnya konsumen muslim, maka berbagai produk yang mengincar konsumen muslim ini menikmati panen raya penjualan di bulan Ramadan ini. Pada Ramadan tahun ini diperkirakan berbagai produk laku melampaui penjualan di bulan-bulan biasa. Hampir penjualan semua produk makanan-minuman naik 30% dibandingkan bulan biasa. Penjualan otomotif naik 6% menjelang Lebaran. Penjualan fesyen muslim diperkirakan naik 50% dibandingkan bulan biasa. Bahkan penjualan elektronik bisa melonjak 100% daripada bulan biasa karena naiknya permintaan terhadap smartphone, komputer tablet, lemari es, televisi layar datar, air conditioner, dan lainnya.

Demi Lebaran, Smartphone pun Baru :)

Lebaran jadi ajang pamer kepemilikan barang. Rasanya kurang mantap apabila Lebaran tanpa smartphone baru. Sama halnya ketika mudik ke kampung halaman tanpa menggunakan mobil baru terasa “hambar”  karena tidak bisa pamer ke tetangga sebagai bukti kesuksesan kerja di kota. Mereka rela merogoh kocek lebih dalam dan mengajukan kredit (consumer credit) demi mendapatkan barang atau kendaraan yang diinginkan saat mudik. Semua itu demi kepuasaan emosional dan status sosial.

Hebatnya para pemasar produk-produk yang mengincar konsumen muslim ini tahu kekhawatiran dan kegelisahan mereka saat bulan puasa dan menjelang Lebaran. Mereka semakin gencar beriklan dan mengemas consumer promo sedemikian cantik agar bisa mendongkrak penjualan. Hasilnya, bulan puasa dan Lebaran seperti “lingkaran setan” gaya hidup konsumtif konsumen muslim yang akan selalu berulang dari tahun ke tahun.
0 Komentar untuk "Konsumen Muslim"

Back To Top