Gaya Traveling #C3000

Dalam industri traveling, kita bisa lihat bagaimana fenomena berlibur telah menjadi kebutuhan baru kelas menengah. Dengan daya beli yang semakin tinggi, mereka merasa bahwa liburan telah menjadi suatu kebutuhan baru yang wajib dilaksanakan setiap tahun atau bahkan bulan. Mereka adalah jenis konsumen yang haus akan liburan. Waktunya sebagian besar dihabiskan untuk mengejar karir profesional ataupun mengelola usaha, sehingga liburan adalah kompensasi atas jerih payah. Yang terjadi adalah: travel more, spend more. Dengan menjadi kebutuhan baru, maka ini telah mendorong lahirnya brand-brand pemain travel di dalam negeri, masuknya para pemain brand asing ke Indonesia, gencarnya promosi iklan travel agent, riuhnya industri pameran travel agent, dll.

Apabila kita perhatikan, ada 4 (empat) perilaku menarik konsumen kelas menengah mengenai traveling yang mendorong terjadinya perubahan radikal pada operasional industri travel. Apabali Anda mengincar segmen ini, maka perhatikanlah beberapa perilaku traveling mereka, seperti di bawah ini:

#1. Dulu Tersier, Sekarang Primer
Melihat perilaku traveling konsumen kelas menengah di Tanah Air, maka saya bisa menyimpulkan bahwa traveling sudah menjadi kebutuhan pokok alias primer. Coba kita tengok saja, destinasi wisata terdekat di lingkungan sekitar hampir selalu ramai dikunjungi oleh kelas menengah. Mulai dari kebun binatang, arena rekreasi permainan, waterboom, wisata bahari, taman kota, pusat perbelanjaan, tempat kuliner, dan lain-lain. Ramainya berbagai tempat destinasi wisata ini menjelaskan bahwa kelas menengah di Indonesia makin haus liburan.

Padahal, dahulu, traveling adalah jenis kebutuhan tersier. Mengapa? Karena uang pendapatan bulanan keluarga tidak pernah rutin dialokasikan untuk liburan. Pendapatan bulanan keluarga selalu habis disedot untuk memenuhi kebutuhan pokok, biaya pendidikan anak, dan tabungan sebagai dana cadangan. Alokasi pengeluaran liburan tidak dilakukan rutin per bulan. Liburan pun biasanya dilakukan setahun sekali saat liburan panjang atau tatkala mudik ke kampung halaman.

Bandingkan dengan kondisi sekarang bahwa setiap bulan kelas menengah mengalokasi pendapatannya untuk pengeluaran liburan. Berdasarkan hasil riset CMCS di 9 kota besar di Indonesia, kelas menengah mengalokasikan pengeluaran untuk liburan rata-rata 7,3% per bulan. Dengan demikian, adanya pengeluaran rutin bulanan untuk liburan menandakan bahwa liburan telah menjadi kebutuhan pokok. Memang, kebutuhan pokok disini tidak sama dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Liburan dinilai sebagai kebutuhan pokok laiknya kepemilikan handphone. Meskipun handphone dinilai sebagai barang mewah, tetapi hampir seluruh penduduk Indonesia memiliki handphone sebagai alat komunikasi sehari-hari mereka. Tak jauh beda dengan handphone, liburan yang dinilai mewah, tetapi kelas menengah merasa wajib melaksanakan kegiatan liburan setiap minggu atau bulan bersama keluarganya. Inilah apa yang disebut oleh Yuswohady sebagai Mass Luxury.



Apa yang bisa dipelajari dari insight ini? Jika liburan telah menjadi kebutuhan pokok kelas menengah, maka travel agent pun kian sadar untuk customer-centric dan customer relationship management. Artiya, para travel agent semakin merasa penting untuk memahami perilaku konsumen dan kebutuhan berlibur kelas menengah seperti apa. Contoh paling gampang adalah paket tour tidaklah harus termasuk tiket transportasi dan hotel. Karena kelas menengah bisa pesan tiket langsung ke maskapai dan hotel ke provider langsung, maka paket tour hanya menyediakan paket jalan-jalan selama di tempat wisata.

Disamping itu, para travel agent pun kian sadar customer relationship management. Melihat faktanya bahwa kelas menengah memiliki alokasi pengeluaran rutin untuk berlibur, maka travel agent haruslah pintar-pintar mengelola customer supaya repeat buying atau menjadi customer loyal. Bagaimana cara customer relationship management? Ada tiga contoh yang biasa dilakukan oleh travel agent, yakni (1) customer community activation [offline], (2) blog community, dan (3) mail marketing.

#2. Smart Planner
Tanda-tanda liburan telah menjadi kebutuhan primer, ini terlihat dari semakin merasa penting dan seringnya kelas menengah merencanakan liburan setiap tahun atau bulan. Ini yang tidak terjadi sebelum era revolusi kelas menengah, di mana orang masih menilai liburan sebagai kebutuhan tersier dan sifatnya aksidental (mereka pergi berlibur apabila ada kebutuhan mendesak). Di era Consumer 3000, merencanakan liburan telah jadi kebutuhan. Hasil riset kualitatif FGD Inventure beberapa waktu lalu menemukan bahwa rata-rata kelas menengah merencanakan liburan minimal setahun tiga kali, yakni menjelang liburan panjang sekolah anak, Hari Raya Lebaran, dan liburan akhir tahun.



Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari sisi perilaku traveling, merencanakan liburan adalah ciri khas dari kelas menengah. Beberapa bulan sebelum berangkat liburan, mereka telah mencari informasi dan merencanakan destinasi liburan. Mereka adalah smart planner. Mereka getol-getol mencari informasi ataupun review destinasi liburan, mencari paket liburan, rute dan harga pesawat, cari lokasi hotel plus harga, supaya bisa mendapatkan best value saat liburan nanti.

Kelas menengah yang techy kerap melakukan perencanaan dengan mencari-cari informasi di internet. Adanya travel review di platform blog atau social media, memudahkan mereka untuk mencari informasi yang diinginkan. TripAdvisor ataupun beberapa blog milik blogger yang hobi traveling kerap ramai dikunjungi oleh kelas menengah. Oleh karena travel review jadi andalan pencarian kelas menengah dalam merencanakan liburan, tak jarang para pemain industri travel seperti hotel, tempat kuliner, destinasi wisata menggunakan model promosi lewat para blogger. Para blogger diundang  oleh pemain industri travel untuk mereview, lalu dimuat di blog, dan dishare di social media. Kini, banyak para blogger mendapatkan penghasilan uang dari review tempat wisata atau liburan.

#3. Gaptek -> Techy
Konsumen kelas menengah yang memiliki karakteristik techy atau technology-savvy dan high-socially connected (menggunakan banyak akun media sosial) telah benar-benar merevolusi struktur industri traveling di Tanah Air. Travel agent yang sudah keenakan dan mapan di offline, semakin ditinggalkan oleh konsumen dan beralih ke online travel agent. Mengapa? Masyarakat Indonesia yang dulu gaptek, kini makin techy dan melek informasi. Ini terlihat dari semakin jaya-jayanya online travel agent di bidang promosi, sementara offline travel agent semakin tenggelam. Inilah fenomena travel 2.0, di mana para travel agent going digital mengikuti perubahan perilaku konsumen yang sangat menguasai teknologi dan internet.

Graham Hills pernah memetakan customer journey para kelas menengah mulai dari perencanaan hingga pasca-pembelian paket tour, dan ternyata sangat dipengaruhi oleh internet. Dalam menentukan tempat tujuan (pick destination) dan merencanakan pembelian (plan), kelas menengah kerap mengakses mesin pencari Google, menggunakan blog traveling, dan berdiskusi di social media. Mereka sangat matang merencanakan. Kemudian, dalam melakukan liburan (trip) atau sesudah liburan (post-trip), mereka tak bosan-bosannya menyebarkan berbagai foto dan video atau menuliskan cerita tentang hasil liburannya di berbagai media internet: social media (Twitter, Facebook, Path), blog, video sharing platform (Youtube, Vimeo), photography sharing website (Instagram, Flickr), dll. Mereka sangat narsis dan ingin dilihat oleh temannya.



Melihat customer journey traveler kelas menengah yang sangat dipengaruhi oleh internet menyebabkan offline travel agent tradisional makin ditinggalkan karena semakin irrelevant. Menurut berita Bisnis Indonesia, hampir 1.000 lebih offline travel agent tradisional tutup karena tidak bisa berubah dan beralih ke era digital.

Oleh karena itu, Anda bisa lihat sendiri bagaimana para pemain online travel agent tumbuh bak jamur di musim penghujan. Mereka beramai-ramai mengincar pasar traveler Indonesia yang setiap tahun jumlahnya makin membesar. Kita lihat kehadiran brand-brand online travel agent yang begitu digdaya seperti Panorama Group, Traveloka, TripAdvisor, Wego, TX Travel, Expedia, Yuktravel, Kayak, Gonla, dan lainnya.

#4. Inbound -> Outbound
Seiring revolusi konsumen kelas menengah, orientasi liburan mereka pun mulai beralih dari dalam negeri (inbound) ke luar negeri (outbound). Mereka pergi ke Singapura, Malasyia, Thailand, Hongkong, Saudi Arabia, China, Australia, dll. Bahkan, dalam acara GITF September lalu, destinasi dengan peminat tertinggi adalah Korea Selatan. Kenaikan jumlah peminatnya mencapai 500% dibandingkan dengan destinasi wisata lain. Artinya, Korea Selatan telah menjadi “hot destination” yang menjadi incaran para K-Pop mania di Tanah Air. Bahkan, belum lama ini ada Korea Winter Travel Fair 2014 di Jakarta yang banyak dikunjungi oleh masyarakat. Event ini setiap tahun dilaksanakan karena tingginya animo masyarakat berlibur ke Korea Selatan.




Melihat fakta tingginya minat orang Indonesia berlibur ke luar negeri tidaklah lepas dari orientasi mereka mencari liburan, naiknya daya beli, aksesibilitas transportasi (thanks to LCC), dan melek informasi. Keempat hal inilah yang menurut saya telah mendorong terjadinya lonjakan minat berlibur ke luar negeri sangat tinggi.

Dari sisi orientasi berlibur, kelas menengah sudah merasa tidak hanya cukup di dalam negeri saja, melainkan ke luar negeri. Berlibur ke luar negeri memberikan benefit lebih banyak dibandingkan dalam negeri. Sebagian besar masyarakat kita melihat ke luar negeri sebagai hal yang istimewa. Lihat saja, betapa hebohnya para tetangga apabila mengetahui kita berlibur ke Singapura atau pergi umrah.

Ada banyak motivasi mengapa mereka melakukan traveling ke luar negeri, seperti wisata religi, shopping, medical tour, melihat atraksi klub sepak bola, nonton konser artis idaman, atau juga nonton Moto GP di luar negeri. Semua ini dilakukan tatkala daya beli mereka naik, terjangkaunya ongkos transportasi, dan knowledgeablity (melek informasi dan bisa berbahasa Inggris) yang meningkatkan kepercayaan diri.

Selain itu, kemudahan transportasi ke luar negeri pun semakin mendorong kelas menengah untuk berlibur ke luar negeri. Dalam hal ini, kita patut berterimakasih kepada LCC. Mereka adalah maskapai penerbangan yang memberikan harga murah di setiap rute. AirAsia dan Lion Group adalah beberapa contoh LCC yang kerap melebarkan rute perjalanan ke luar negeri.

Melihat orientasi liburan kelas menengah yang mulai beralih ke luar negeri, maka para travel agent pun dituntut wajib memiliki paket tour ke luar negeri dan pintar menciptakan paket tour ke luar negeri yang menarik. Kini, hampir seluruh travel agent memiliki paket wisata ke luar negeri. Mereka paham bahwa jika tidak memiliki berlibur ke luar negeri, maka mereka tidak akan dilirik oleh kelas menengah.





0 Komentar untuk " Gaya Traveling #C3000"

Back To Top