Ahmad Tohari sebagai Juru Bicara



Ahmad Tohari adalah sebuah nama yang menggugah kita pada kesadaran tentang pentingnya “suara lokal”. Ahmad Tohari memahami posisi dan fungsinya, sehingga menempatkan dirinya sebagai juru bicara. Dalam hal ini, Ahmad Tohari adalah juru bicara masyarakat Banyumas di panggung kesusastraan Indonesia dan global.



Sebagian besar sejarah literatur kesusastraan Indonesia “melupakan” angkatan 1957. Dalam hal ini, jarang orang yang mengakui hasil dan sepak terjang orang-orang yang ada di dalam angkatan tersebut. Barangkali kalah besar dengan gaung angkatan 1945 dan angkatan 1966. Karena itu, orang kurang mengakui, dan lebih melupakan. Padahal, ide besar yang digagas oleh kelompok angkatan ini merupakan fondasi penting dalam wacana kesusastraan Indonesia. Apabila angkatan 1945 dan 1966 melahirkan nasionalisme kosmopolitanisme, maka angkatan 1957 memunculkan gagasan garis tengah.

Angkatan 1957 diprakarsai oleh Ajip Rosidi, WS Rendra, Ramadhan KH, Trisno Sumardjo, dan lainnya. Pada tahun itu, usia mereka masih muda. Tetapi, mereka memiliki ide brilian untuk memikirkan konsep kesusastraan ke depan. Bermula dari tradisi kesusastraan yang dipelajari di daerahnya, maka mereka memunculkan konsepsi agar kesusastraan Indonesia lahir dari rahim kebudayaan daerah-daerah yang ada di Indonesia. Mengapa demikian? Sikap nasionalisme yang diagung-agungkan orang kala itu tidaklah boleh nasionalisme yang ambigu dan kosmopolit, melainkan jelas posisi duduknya dan memihak pada yang lokalitas. Karena itu, anak-anak muda yang muncul kala itu, berusaha menawarkan gagasan baru dalam kesusastraan Indonesia.

Satu contoh ialah Ajip Rosidi. Pada awal karir kepengarangannya, Ajip Rosidi giat memperkenalkan khasanah kesusastraan Sunda di forum kesusastraan Indonesia. Sangkuriang Kesiangan, Mundinglaja Dikusuma, Roro Mendut, Lutung Kasarung, Jalan Ke Surga, Ciung Wanara, dan lainnya adalah karya kesusastraan daerah yang dimunculkan Ajip ke panggung kesusastraan Indonesia. Ajip adalah juru bicara kesusastraan Sunda di panggung kesusastraan nasional dan global. Ketika orang tertarik terhadap sastra Sunda, Ajip adalah juru bicara yang otoritatif. Bahkan, ia membuat Rancage sebagai forum penghargaan kesusastraan daerah di Indonesia. Angkatan 1957 adalah kelompok pengarang yang umumnya menjadi juru bicara kesusastraan daerah asalnya.

Bagaimana dengan Ahmad Tohari?

Saat ini, barangkali orang mengenal dan mengasosiasikan Ahmad Tohari dengan Ronggeng Dukuh Paruk. Setahun lalu, Ronggeng Dukuh Paruk sudah naik ke panggung film. Dan, ini merupakan salah satu film terbaik tahun 2012. Baik dari sisi isi maupun teknik sinematografi. Sebenarnya, dari sisi karya, Ahmad Tohari adalah sastrawan jempolan. Anggapan itu muncul ketika saya membaca beberapa karyanya. Saya sendiri kurang mengetahui banyak mengenai Ahmad Tohari. Saya baru membaca beberapa karya Ahmad Tohari saja. Mulai dari Orang-orang Proyek, Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah. Barangkali tulisan ini sekadar kesan sebagai pembaca terhadap karya Ahmad Tohari.

Saya sendiri mengenal karya Ahmad Tohari ketika kuliah di Jogja. Waktu itu, di antara teman-teman kos, mereka sangat berkesan dengan novel Orang-orang Proyek dan Ronggeng Dukuh Paruk. Mereka menjadi brand ambassador atau evangelism atas karya Ahmad Tohari. Saya pun ikut penasaran. Kemudian, saya ikut-ikutan baca novel Orang-orang Proyek dan Ronggeng Dukuh Paruk. Luar biasa. Saya berasa membaca karangan-karangan yang ditulis Kuntowijoyo. Secara isi mungkin berbeda, tapi konteksnya hampir sama. Kedua penulis punya konsentrasi terhadap isu masyarakat desa, lokalitas, hal-hal mistis, dan keagamaan (Islam). Itu kesan saya.

Secara umum, saya memiliki tiga kesan terhadap karangan Ahmad Tohari. Pertama, isu lokalitas. Ini yang paling menonjol dalam kekuatan karya Ahmad Tohari. Unsur lokalitas ini barangkali yang tidak dapat banyak digarap oleh sastrawan kita. Umumnya, kesusastraan ini seperti produk masal, tidak ada kustomisasinya. Ahmad Tohari punya positioning dan menjadi beda. Banyumas dan dialek Banyumasannya sangat kental. Karena itu, karakter dan suasana kulturnya lekat dengan pedesaan Banyumas di dalam karya sastranya. Barangkali, jejak ini yang pernah diikuti oleh novel Jatisaba karangan Ramayda Akmal.

Kedua, kesan terhadap karya sastra Ahmad Tohari ialah religusitas. Dalam karya sastranya, Ahmad Tohari sangat santun dan tidak vulgar, tapi mengena. Ia bisa bercerita mengenai dunia ronggeng, tapi tidak ada yang saru. Barangkali akan berbeda jika digarap oleh sastrawan yang tidak punya latar belakang sastri. Eksplorasi dunia saru pasti akan seru. Selain itu, religiusitas Ahmad Tohari ini juga tampak dari novel Kubah. Novel ini sangat kuat kesantriannya. Terlebih, di akhir cerita sang tokoh bertobat dan berserah diri untuk mengurus masjid. Akhir cerita adalah bagian dakwah sang pengarang terhadap pembacanya.

Novel Kubah sendiri merupakan cerita mengenai kehidupan harmoni seorang mantan tahanan politik akibat geger 1965 yang mendapatkan tempat kembali di kampung halamannya. Ahmad Tohari menceritakan dengan lurus, genius kebingungan-kebingungan yang dihadapi karakter tokohnya, dan perasaan hati yang dihadapi sang tokoh. Sudah pasti karakter tokoh karangannya hidup.

Ketiga, saya terkesan terhadap geger peristiwa 1965 yang melekat pada novel Kubah dan Ronggeng Dukuh Paruk. Saya tidak tahu mengapa Ahmad Tohari senang membahas peristiwa 1965, dan ia salah satu yang piawai menceritakan akibat peristiwa ini. Tetapi, dalam cerita Kubah, saya merasa janggal dengan gaya tutur Ahmad Tohari. Ceritanya tidak halus, melainkan terkesan dipaksakan. Sesudah tamat membacanya, saya merasa Ahmad Tohari sedari awal sudah “menjebakkan” tokoh utamanya ke dalam pintu pertobatan. Dalam hal Kubah, mungkin tepat jika Aprinus Salam memasukkan karya Ahmad Tohari sebagai “sastra traumatik” dan Katrin Bandel menyebut Ahmad Tohari “masih perspektif Orde Baru”. 

Ini beda dengan cerita peristiwa 1965 yang ada di Ronggeng Dukuh Paruk. Ahmad Tohari menceritakannya sangat halus, sehingga menggugah kesadaran kita mengenai peristiwa kemanusiaan penting. Kepolosan seluruh penduduk Dukuh Paruk harus dibayar ketertindasan dari akibat peristiwa 1965 yang tidak mereka pahami. Karya ini tidak bisa disebut sastra traumatik atau sastra perspektif Orde Baru.

Setelah geger 1965, lahirlah Orde Baru. Orde Baru ini diasosiasikan sebagai orde pembangunan. Pada bagian akhir novel Ronggeng Dukuh Paruk sudah diceritakan mengenai latar gencarnya pembangunan. Tetapi yang cukup kental ada di novel Orang-orang Proyek. Saya sudah lama membacanya, tidak ingat betul detail isi novelnya. Tetapi, pesan yang saya tangkap, ini cerita tentang pembangunan jembatan yang uangnya dikorupsi aparat Pemerintah. Ini khas zaman Orde Baru, bisnis proyek pembangunan dengan cara korupsi.

Begitulah kesan awal saya ketika membaca karya-karya Ahmad Tohari semasa mahasiswa. Ada banyak karya sastra Ahmad Tohari lain yang belum saya baca. Saya kira ulasan karyanya layak diketengahkan dan didiskusikan sebagai bahan referensi masyarakat umum.

Apabila dirangkum dari kesan di atas, maka saya sangat terkesan dari cara Ahmad Tohari menceritakan mengenai latar belakang kehidupannya di Banyumas. Ia sangat memahami betul apa yang terjadi di Banyumas. Ia mengamati perilaku dan cara berpikir orang Banyumas. Dan, ia menyuarakan orang-orang Banyumas. Pengetahuan tentang lokalitas Banyumas menjadi nilai penting dalam kesusastraan Ahmad Tohari. Ia memahami perubahan sosial di masyarakatnya. Perubahan itu ia suarakan agar orang bisa memahami alur perubahan. Saat ini, barangkali dunia ronggeng sudah tidak berlaku, dan Ahmad Tohari berhasil mencatatnya.

Ahmad Tohari adalah sebuah nama besar dan langka di dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Dari karya sastra yang saya baca, nama Ahmad Tohari langgeng dan cepat nempel di kalangan pembaca. Ketika mendengar namanya, maka asosiasi yang muncul dari pengarang ini adalah lokalitas, tema keislaman, dan nilai kehidupan kesederhanaan. Ronggeng Dukuh Paruk adalah salah satu bibel Ahmad Tohari. Dengan hadirnya serangkaian karya Ahmad Tohari mengenai Ronggeng Dukuh Paruk semakin menegaskan Ahmad Tohari sebagai juru bicara kesusastraan bertema lokal. Pengetahuan Ahmad Tohari mengenai dunia ronggeng dan filosofinya menegaskan bahwa Ahmad Tohari adalah wakil dari suara orang-orang yang satu daerah asalnya. Novel ini amat mengesankan, sehingga dibuatkan film. Wajar.

           Nama Ahmad Tohari muncul pada tahun 1970-an. Nuansa lokalitas Ahmad Tohari amat kental di dalam berbagai karangannya. Yang saya ketahui, ini mirip apa yang pernah dikerjakan oleh Ajip Rosidi. Sebagaimana saya paparkan di atas, bahwa proyek penemuan, pengenalan dan penyuaraan atas nama daerah Banyumas menjadi bagian penting dalam hidup Ahmad Tohari dan kita. Saya jadi mengenal Banyumasan dari novel ini. Sama halnya seperti saya tahu dunia orang Sunda dari beberapa karya Ajip. Bedanya, jika Ajip gencar menulis bahasa Sunda dan mempromosikannya sebagai bahasa pengetahuan, Ahmad Tohari tidak saya ketahui. Terakhir yang saya ketahui ia sedang menyunting Al Quran terjemahan bahasa ngapak. Tapi, usaha itu memang masih jauh jika disejajarkan dengan Ajip. Yang harus kita akui dan acungi jempol ialah usaha Ahmad Tohari yang hampir mirip dikerjakan oleh angkatan 1957: memperkenalkan pengetahuan lokal ke panggung kesusastraan Indonesia. Dan, Ahmad Tohari adalah juru bicara pengetahuan lokal di forum Indonesia. []
0 Komentar untuk "Ahmad Tohari sebagai Juru Bicara"

Back To Top