Revolusi Jomblo

Ketika suatu negara bertransformasi menjadi negara modern (industri, urban, dan masyarakat berpendapatan tinggi), maka akan terjadi revolusi jomblo atau jomblo revolution. Apa itu revolusi jomblo?

Revolusi jomblo adalah sebuah gejala terjadinya perubahan mindset atau persepsi tentang jomblo yang dulunya dinilai sebagai “aib” “memalukan” berubah dipersepsikan menjadi “bukan aib”. Terjadinya, revolusi jomblo ini tidaklah lepas dari fenomena revolusi kelas menengah yang sudah dikaji oleh pakar marketing Yuswohady. Revolusi kelas menengah adalah revolusi kelas sosial masyarakat dari kelas bawah (daya beli kecil atau pas-pasan) ke menengah (daya beli cukup dan cenderung tinggi), yang didorong oleh tingkat pendidikan tinggi, dan koneksi sosial tinggi, sehingga menciptakan mobilitas sosial secara revolusioner. Kelas menengah inilah yang mentransformasi gaya hidup masyarakat kita yang tadinya rural-agraris dan tradisionalis menjadi urban-industrialist dan modern.

Seiring terjadinya revolusi kelas menengah di Indonesia, maka saya melihat tanda-tanda terjadinya perubahan nilai-nilai mengenai pernikahan atau perkawinan. Hal ini ditandai dengan semakin tuanya usia kawin pertama (UKP) masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil sensus BPS tahun 2010, rata-rata UKP perempuan adalah 22,3 tahun dan laki-laki 25,7 tahun. Bandingkan dengan UKP orang tua kita dahulu yang rata-rata sudah menikah di bawah usia 20 tahun.

Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat, maka ada kemungkinan besar usia pernikahan akan tertunda (menua). Mengapa? Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, rata-rata orang memilih menikah setelah lulus kuliah dan cukup lama kerja (terkadang memilih mapan bekerja terlebih dahulu), sehingga umumnya usia pernikahan menikah anak muda sekarang adalah 25 tahun. Sementara itu, pada masa orang tua saya dahulu, dengan tingkat pendidikan masih rendah dan jenis pekerjaan masih homogen (bertani), sehingga rata-rata usia pernikahan cenderung di bawah 20 tahun.

Paradoks
Apabila kita amati, jomblo adalah momok persoalan yang muncul pada masyarakat modern. Meskipun masyarakat modern itu dikenal punya gaya hidup konsumtif, mobilitas dan koneksi sosial tinggi (lingkup pergaulan luas), tetapi populasi jomblo pada jenis masyarakat ini cenderung besar. Paradoks. Mengapa? Dengan tingkat pendidikan tinggi, daya beli besar, dan pergaulan luas, maka seharusnya UKP masyarakat modern bisa lebih muda karena mudah untuk mendapatkan pasangan. Sederhananya, dengan daya beli dan pergaulan luas, maka mereka dengan mudah bisa cepat mendapatkan pasangan. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.

Coba bandingkan dengan jenis masyarakat rural-agraris yang memiliki ciri matapencaharian homogen, lingkup pergaulan (koneksi sosial) sempit, dan daya beli cenderung rendah, justru UKP mereka cenderung di bawah 20 tahun. Dengan UKP usia 20 tahun, maka hal ini berarti bahwa pada masyarakat ini jomblo bukan sebuah momok persoalan.

Mengapa bisa paradoks? Ini tidak terlepas dari perubahan nilai-nilai pada masyarakat. Berdasarkan hasil riset Pew Research Center di Amerika menemukan bahwa di mata generasi muda kini institusi pernikahan adalah barang usang (obsolete). Meskipun di usia muda masyarakat modern sudah memiliki tingkat pendidikan tinggi dan daya beli cukup tinggi, mereka tak jarang memilih menunda-nunda pernikahan dengan alasan demi karir, memuaskan gejolak kaum muda, masih senang bersosialisasi dengan teman, dan lain-lain.

3 Fenomena
Saya melihat, ada 3 fenomena unik seiring dengan revolusi jomblo ini. Pertama, perubahan mindset jomblo yang awalnya sebagai aib menjadi bukan aib. Inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia mulai permisif terhadap anak muda yang menikah dengan usia di atas 25 tahun. Kedua, hot-nya topik seputar jomblo. Bisa dibayangkan, baru-baru belakangan ini saja, isu perjombloan sangat menggairahkan. Hampir di semua kanal social media, topik jomblo selalu aktual. Ketiga, tumbuh pesatnya industri yang mengincar segmen jomblo. Industri yang paling kentara adalah menjamurnya biro jodoh di berbagai kota. Situs-situs biro jodoh pun bermunculan bagai jamur di musim hujan.

Yuks kita diskusikan satu per satu…

The Decline of Marriage
The decline of marriage adalah fenomena semakin kurang pedulinya masyarakat terhadap pernikahan, sehingga usia pernikahan cenderung menua. Studi Pew Research Center mengungkapkan bahwa populasi masyarakat yang menikah di usia sekitar 20-an tahun sudah mengecil. Pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa populasi masyarakat Amerika Serikat (2008) yang menikah di usia 20 tahun adalah 52%, dan yang tidak menikah 25%. Bandingkan dengan data tahun 1960, masyarakat yang menikah di usia 20 tahun porsinya masih tinggi dan yang tidak menikah cukup rendah.



Mengapa usia pernikahan semakin tua? Seiring semakin tingginya pendapatan (good income) dan level pendidikan (well-educated) masyarakat, maka ada kecenderungan masyarakat kurang peduli terhadap institusi pernikahan. Pada tahun 2010, Pew Research Center menemukan bahwa 39% masyarakat Amerika Serikat di atas 18 tahun menilai bahwa institusi pernikahan adalah barang usang. Padahal, pada tahun 1978 hanya 28% yang mengatakan institusi pernikahan adalah barang usang.

Lalu, bagaimana dengan kelas menengah kita? Meskipun kondisi masyarakat kita belum seekstrem negara-negara maju seperti di Amerika Serikat dan Eropa, tapi tanda-tanda tentang fenomena “the decline of marriage” mulai bisa kita lihat pada kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta. Berdasarkan pengamatan pribadi di lingkungan teman-teman sendiri, saya melihat bahwa tanda-tanda usia pernikahan semakin tua sangat terasa. Di usia 27 tahun, tak sedikit mereka masih belum memutuskan menikah pada usia itu. Alasan yang saya temukan adalah kesulitan mencari pasangan ideal atau serasi (berdasarkan ukuran mereka), mengejar karir profesional, melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, ingin memiliki apartemen atau rumah sebelum menikah, dan lainnya.

Apabila dahulu sebelum era Consumer 3000, persepsi jomblo sebagai aib dan usia pernikahan masih sekitar 20 tahun. Di era Consumer 3000, jomblo pun bukanlah sebuah status yang bikin horor penyandangnya. Oleh karena perubahan mindset ini, maka jomblo pun menjadi hot topic yang selalu menarik di setiap kanal social media.

Galau dan Satire
Dari sisi topik pembicaraan (offline/online), isu jomblo begitu sangat menarik dan masif. Netizen dan kelas menengah sangat kreatif membuat berbagai meme terkait jomblo. Meskipun ceritanya satire, isu jomblo adalah cerita unik di social media. Bahkan, ada beberapa blog yang secara serius menggarap isu jomblo. Mengapa isu jomblo menjadi hot topic? Ini tidak lepas dari populasi jomblo di Indonesia yang banyak dan industri perjombloan sedang tumbuh (hehe).

Saking jadi hot topic, terkadang status jomblo menjadi sasaran empuk di lini masa sebagai objek penderita dan satire. Hal atau momen apapun kerap dikait-kaitkan dengan jomblo. Contohnya saat 17 Agustus lalu, para Netizen sibuk buat meme di social media mengenai lomba 17 Agustusan yang paling cocok untuk jomblo. Saking menariknya, meme ini sempat jadi trending topic di social media. Inilah fenomena isu tentang jomblo sangat menarik banyak orang.



Dalam beberapa tahun terakhir, kata “galau” dan “galauers” menjadi sebuah magic word yang bisa menggambarkan kondisi pergumulan batin seorang jomblo (hehe). Beberapa situs secara cukup serius mengangkat seputar jomblo seperti www.mojok.co yang menjadi populer karena suka dibaca dan dibagikan artikelnya ke sesama jomblo.

Oleh karena itu, saya yakin bahwa bisnis yang menyasar segmen jomblo akan tumbuh. Contoh paling rill adalah menjamurnya perusahaan konsultasi percintaan dan biro jodoh. Bisnis ini adalah fenomena baru di era revolusi kelas menengah dan revolusi jomblo.

Biro Jodoh Laris-Manis
Dari sisi industri, saya melihat industri yang menyasar segmen jomblo secara khusus sedang booming di Tanah Air. Contohnya adalah bisnis biro jodoh atau makcomblang (matchmaker) dan konsultasi kepribadian untuk soal cinta. Fenomena banyaknya biro jodoh ini baru terjadi sekitar empat tahun terakhir. Mengapa? Ketika daya beli tinggi, tapi tidak memiliki keterampilan dalam menggaet calon pasangan hidup, maka kelas menengah pun butuh biro jodoh. Coba kita tengok bagaimana banyaknya kantor biro jodoh profesional di Jakarta dan situs biro jodoh online.

Bahkan, beberapa orang Indonesia telah memiliki lisensi matchmaker dari Amerika Serikat. Bisnis biro jodoh ini tumbuh luar biasa, seiring besarnya pula populasi jomblo di Indonesia. Hitman System adalah sebuah perusahaan relationship coach untuk percintaan. Hampir setiap bulan, Hitman System kerap bikin event seminar atau workshop untuk para jomblo. Saking hot-nya industri perjombloan, artis Christian Sugiono yang dikenal memiliki situs www.malesbanget.com pun kini membuka layanan biro jodoh online www.setipe.com.

Ada banyak situs biro jodoh online yang menjamur di tengah revolusi jomblo, seperti terlihat pada tabel di bawah ini:



Saking hotnya bisnis perjombloan ini, beberapa biro jodoh membuka layanan biro jodoh untuk segmen muslim. Mereka mempertemukan pasangan sesama muslim. Contohnya adalah biro jodoh online www.syifa.com dan www.jodohislam.net. Selama ini, masyarakat muslim yang taat terhadap ajaran agamanya akan cenderung memilih pasangan hidupnya yang sama. Ini adalah niche market, sehingga model platform cari pasangannya pun berbeda.

Melihat fenomena-fenomena di atas, mari sambut revolusi jomblo di tanah air... :D :)
0 Komentar untuk "Revolusi Jomblo"

Back To Top