Oleh: Iryan Ah
Utuy Tatang Sontani merupakan
salah seorang dramaturg besar yang dimiliki khasanah kesusastraan Indonesia.
Sejak awal karir kepengarangan hingga tutup usianya, ia telah menulis 20 buku.
Tiga belas diantaranya dalam kurun 1948-1965, sementara pasca-1965 hampir bisa
disebutkan bahwa Utuy telah menulis tujuh karya meskipun kesemuanya itu sampai saat
ini belum diterbitkan, kecuali otobiografi dan dua cerpennya (“Anjing”, “Di
Bawah Langit Tak Berbintang” dan “Kolot Kolotok”). Yang belum terbit itu antara
lain Bukan Orang Besar (1965), Pemuda Telanjang Bulat:
Dongeng Tiga Malam (1979), Benih
(TT), Tumbuh (TT), Berbicara Tentang Drama (TT) (Alex Supartono,
Kalam No. 18/2001: 151).
Selain produktivitas
karya yang menonjol dari sosoknya, Utuy juga merupakan bagian dari tokoh penting
di dalam khasanah drama kesusastraan Indonesia. Meskipun ia dikenal bukan sosok
yang akrab dengan dunia teater (Soebagio Sastrowardoyo, Siasat 5 Oktober 1957: 24-28), tetapi Utuy dikenal sebagai bagian
penting dalam sejarah teater modern Indonesia yang ditunjukkan oleh gagasannya
mengenai realisme di dalam teks dramanya pasca-1945.
Apabila sebelum 1945
drama dikenal tersekesan “romantik”, maka sejak diterbitkannya karya Utuy Awal dan Mira (1952), drama beralih
menjadi realis. Karya Utuy merupakan jembatan yang menghubungkan masa lampau
drama Indonesia ke masa yang lebih warna-warni (Sapardi Djoko Damono “Pendahuluan
Jilid 3 Antologi Drama Indonesia: Revolusi, Kemerdekaan, Ketimpangan” Antologi Drama Indonesia, Jilid 3 1946-1968,
2006: XVII-XXIV). Hal itu pun sejalan dengan mulai popularitasnya gagasan
realisme di dalam teater Indonesia. Banyak kelompok teater yang memainkan
mengenai karya Utuy. Pada 1950-an, Utuy seolah menjadi nama “mainstream” di kalangan seniman teater
Indonesia (M. Husyyn Umar, Siasat 14
November 1956: 24-28). Sastrawan besar realis Pramoedya Ananta Toer pun
menyebutnya “dramaturg terbesar pada masa ini” (Pramoedya Ananta Toer, Siasat 7 September 1952).
Namun di luar karya
drama, Utuy juga menulis cerpen dan novel. Tambera
(1949) merupakan roman tentang kehidupan masyarakat Pulau Lontor Bandaneira yang
kedatangan kongsi dagang Belanda VOC. Ada yang menyebut bahwa Tambera merupakan roman sejarah, ada
pula yang mengatakan bahwa roman tersebut bukan roman sejarah karena anakronisme
waktu dan ketidakpahaman penulisnya terhadap kondisi Pulau Lontor Bandaneira yang
sebenarnya (M. R. Dajoh, Pandji Negara No. 2 Th. III 15 Mei 1949 & Harry Aveling,
Bijdragen Tot de Taal, Land en Volkenkunde, 123, 1967: 361). Lepas dari semua itu, Tambera mendapatkan tempat sebagai roman
yang menggambarkan sisi pelik kehidupan manusia saat kedatangan bangsa asing.
Utuy tidak mendeskripsikan secara dikotomis, melainkan pergumulan para karakter
tokoh-tokohnya. Hal itu menjadi ciri kepengarangan Utuy yang dapat
menggambarkan pergumulan manusia di tengah karakter kepolosannya dan nila-nilai
kehidupan.
Kumpulan cerpennya Orang-orang Sial (1951) merupakan karya
realis Utuy lainnya tentang derita kemanusiaan di tengah revolusi dan kehidupan
satire politik. Dalam hal ini, Orang-orang
Sial dinilai punya orisinalitas humor dan cerita. Cerita “Lukisan” telah
membuat sastrawan Asrul Sani terkesan sehingga menyejajarkan Utuy dengan Antonio
Huxley (Asrul Sani, Siasat 18 Maret 1951). Dengan demikian,
sejak kemunculannya, nama Utuy telah benar-benar besar dengan gagasan dan
produktivitas karya sastranya.
Utuy Tatang Sontani
lahir pada 13 Mei 1920 di Cianjur. Sebagaimana dikenang oleh kalangan menak
Sunda di Priangan, Cianjur merupakan salah satu kota yang dikenal memiliki
tradisi kesusastraan. Tembang Cianjuran merupakan bukti mengenai perkembangan
kesusastraan di kota tersebut (M. A. Salmun, Indonesia No. 12/Th. IX Desember 1958: 489-505). Utuy
besar dari lingkungan keluarga pedagang yang bergelar haji. Bapaknya bernama Haji
Maksum merupakan seorang pedagang batik, pengusaha restoran, pemilik sejumlah
pedagang kecil, dan juragan tanah di kampung kelahirannya yakni Desa Satuduit.
Oleh karena aktivitas
dagang sang bapak, Utuy sempat berkeinginan untuk menjadi pengusaha kacang
rebus. Tetapi, sang ibu yakni Urian tidak menyukai kegiatan dagang, karena
dagang dinilai tidak selalu beruntung. Justru sang ibu menginginkan agar
anaknya tersebut bersekolah dengan baik agar kelak bisa menjadi ambtenaar. Utuy bersekolah di Schakelschool,
sekolah rakyat yang dikhususkan untuk petani, pedagang, ambtenaar rendahan dan buruh. Sekolah ini setingkat lebih rendah
daripada HIS. Waktu itu, usaha dagang sang bapak tengah mengalami kesurutan, dan
akibatnya Utuy harus puas disekolahkan ke Schakelschool, tidak seperti kakaknya
bersekolah di HIS yang wafat masih muda akibat pes.
Sekolah di Schakelschool
membuatnya tidak betah akibat pola belajar yang menekankan pada hapalan. Di
samping itu, sekolah itu pun kerap mengaitkan kebodohan dengan asal-usul ras.
Utuy tidak menyukai, dan akhirnya memilih keluar dari sekolah tersebut.
Sekeluar dari sekolah tersebut, selama enam bulan Utuy mengalami masa-masa kebebasannya
sebagai seorang anak kecil untuk bermain di lingkungan rumahnya seperti Rawa
Peuti, Gunung Mananggel ataupun stasiun kota Cianjur (“Sastra jang terlahir di Tjiandjur” Bintang
Timur 27 Oktober, 1 November, 10 November 1963). Pengalaman masa
kebebasan bermain itu tergambar jelas dalam karakter sosok Tambera dalam
romannya Tambera (1949). Enam bulan Utuy
tidak bersekolah menyebabkan kekhawatiran sang ibu terhadap nasib anaknya.
Akhirnya, Utuy dipindahkan ke sekolah Taman Siswa.
Di Taman Siswa, Utuy
tampil menjadi seorang penulis. Pada kelas 5 ia telah diminta oleh kepala
sekolahnya untuk menerbitkan majalah sekolah. Di Taman Siswa, setiap murid
diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Saat memimpin penerbitan majalah
itu, Utuy kerap menulis dalam bahasa Indonesia meskipun bahasa ibunya ialah bahasa
Sunda. Dan, sejak kebiasaan menulis di majalah sekolah tersebut, hal itu tidak
membuat Utuy canggung untuk menulis sajak di majalah-majalah nasional pada masa
pendudukan Jepang atau pascakemerdekaan Indonesia.
Awal permulaan Utuy mengembangkan
kepiawaian menulisnya ialah juga saat cintanya tak terbalas dari gadis tetangga
rumahnya. Utuy mengenang bagaimana caranya agar ia dapat menarik perhatian
gadis tetangga pujaan seusianya itu. Salah satu caranya ialah dengan menulis
cerpen pada koran Sinar Pasoendan
agar sang gadis mengetahui bahwa ia adalah seorang penulis. Seminggu berikutnya
setelah dikirimkan ke redaksi Sinar
Pasoendan, cerpen Utuy berhasil dimuat dan dibaca si gadis tetangga. Ternyata,
cerpen tersebut berhasil membuat gadis pujaannya memberikan respek balik pada
Utuy yang padahal sebelumnya sangat acuh terhadapnya. Itu membuat Utuy senang,
dan menjadikannya untuk rajin mengirimkan tulisan ke Sinar Pasoendan.
Tidak hanya gadis pujaan
itu yang respek terhadap Utuy akibat pemuatan cerpennya tersebut, melainkan
sang paman gadis tetangga itu yang merupakan redaktur koran Sinar Pasoendan sekaligus sastrawan
besar Sunda dan aktivis politik di Priangan mengirimi buku untuk Utuy. Buku
tersebut ialah Minggat dari Digoel.
Sang penulisnya ialah Wiranta, yang merupakan eks-Digulis pascaperlawanan PKI
di Jawa Barat 1926. Utuy sangat menyukai buku pemberian sang paman si gadis,
sehingga nama tokoh utama dalam Minggat
dari Digoel pun digunakan Utuy sebagai nama belakangnya yakni Sontani.
Semenjak itu, Utuy mengembangkan
sayap kepengarangannya. Di usia 18 tahun dan di tengah pergolakan cintanya
terhadap seorang gadis Indo di Bandung, Utuy telah menulis Mahala Bapa dan Tambera pada
1938-an. Kedua cerita itu dimuat feulliton
di kedua koran terbitan wilayah Priangan yang memiliki oplah besar yakni Sipatahoenan dan Sinar Pasoendan. Sejak usia 18 tahun itu, Utuy telah dikenal berkat
Mahala Bapa dan Tambera-nya, meskipun hanya berlaku untuk kalangan berminat
terhadap sastra dan mengerti bahasa Sunda.
Tambera diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1949. Mahala Bapa tidak pernah diterbitkan
ulang. Menurut Utuy, hal itu dikarenakan sambutan terhadap Tambera lebih besar daripada Mahala
Bapa (“Sastra jang terlahir di Tjiandjur” Bintang Timur 27 Oktober, 1 November, 10
November 1963).
Namun, di luar menulis
roman, cerpen atau drama, Utuy juga menulis sajak. Tercatat ada tujuh judul
sajak Utuy yang berhasil dipublikasikan. Jumlah itu bisa dikatakan tidak
memadai untuk menjulukinya sebagai penyair, karena itu Utuy tidak pernah dikenal
sebagai penyair. Sajak pertamanya dalam bahasa Indonesia dimuat di majalah Pandji Poestaka. Waktu itu, Pandji Poestaka merupakan bagian
penerbitan Balai Pustaka yang sudah dimiliki oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Oleh karena sajaknya “Asia-Raya” menggambarkan ajakan persahabatan antara
“saudara muda” dan “saudara tua”, maka Utuy diundang Gunseikanbu (Pusat
Pemerintah Bala Tentara Jepang di Jawa) dalam acara pembentukan Poesat
Kebudayaan (Keimin Bunka Sidosho) di Jakarta, di mana Sanoesi Pane menjadi
ketuanya.
Sepulang dari acara
pembentukan Poesat Kebudayaan di Jakarta, Utuy diajak oleh dr. M. Moerdjani, gurunya
di Taman Dewasa Bandung, untuk ikut aktif di dalam organisasi Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) Priangan (Tjahaja, 6
Shigatsu 2603 / 6 Juli 1943). Utuy aktif sebagai anggota. Selain di
Putera, Utuy juga aktif di dalam Kelompok Sastrawan Angkatan Baru cabang
Priangan yang merupakan bentukan dari Poesat Kebudayaan. Di sini, ia menjabat
sebagai ketua dan sekretarisnya adalah Kelana Asmara (A.S Dharta atau Klara
Akustia) yang kelak menjadi Sekretaris Jenderal Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) (1950-1959). Sebagai ketua, ia kerap terjun aktif untuk mempersiapkan
pertunjukan panggung kesenian, mulai dari reog, teater dan lainnya. Kemungkinan
besar, saat masa itulah Utuy aktif sebagai seorang sutradara panggung untuk
pertunjukan drama, sebagaimana diketahui bahwa Utuy banyak menulis naskah
drama. Suling (1948) adalah lakon
drama tentang kekaguman Utuy terhadap empat tokoh serangkai Putera (Soekarno,
M. Hatta, K.H. Mas Mansyur, Ki Hadjar Dewantara) dan menggunakan personifikasi
mereka dalam menghadapi dinamika perubahan struktur masyarakatnya.
Selepas Jepang menyerah
kepada Sekutu di dalam perang Pasifik, maka di Indonesia terjadi proses
peralihan kekuasaan. Tetapi, proses peralihan kekuasaan itu memakan korban. Hal
itu yang membuat kota Bandung pada awal-awal kemerdekaan Indonesia telah
menjadi bara perjuangan rakyat Indonesia melawan sisa tentara Jepang dan
tentara tambahan Inggris (John R. W. Smail, 2010: 68-193). Dalam gejolak
demikian, Utuy memilih mengungsi ke Tasikmalaya. Di Tasikmalaya ia menikah
dengan putri wedana Ciranjang yakni Raden Asiah Tedjakaraton, dan bekerja di
RRI. Selain itu, selama masa pengungsian, Utuy aktif mengirimkan beberapa sajaknya
kepada majalah Gelombang Zaman di
Garut yang dipimpin Achdiat Kartamihardja. Di antaranya, “Tanah Air” (Gelombang
Zaman, No.21. Th.1 10 Juni 1946: 2) dan “Merdeka” (Gelombang Zaman, No.24. Th.1 1 Juli 1946: 7).
Bunga Rumah Makan (1948), Orang-orang
Sial (1951) serta Awal dan Mira (1952)
merupakan karya sastra Utuy yang memotret revolusi Indonesia. Mulai dari kisah
percintaan anak muda, kisah tukang sol sepatu, tukang doger, dan penjaga rumah
makan, merupakan gugusan cerita rakyat kecil yang menjadi objek kesusastraan
Utuy.
Pada 1948, Utuy bersama
keluarganya pindah ke Jakarta. Kedatangannya ke Jakarta dengan maksud ingin
menerbitkan tiga naskah yang dipersiapkan sejak pendudukan Jepang. Antara lain Bunga Rumah Makan, Suling dan Tambera.
Kesemuanya diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang waktu itu merupakan penerbitan
terbesar di Indonesia.
Kemunculannya di Jakarta
sempat diragukan kehadirannya sebagai sastrawan. Terbukti, tatkala Utuy ingin
menerbitkan Tambera di penerbit
Opbouw, yang waktu itu kepala redaksinya ialah sastrawan Idrus, langsung
menolak naskah tersebut. Bahkan, tak sedikit kritikus sastra mengecam Tambera yang akhirnya diterbitkan Balai
Pustaka sebagai roman sejarah karena dinilai anakronis dan penulisnya tidak
mengetahui betul tentang objek sastranya di Pulau Lontor Bandaneira. Akan
tetapi, apakah karya sastra melulu “berbicara” soal keakuratan data sejarah?
Hal itu yang mendorong pula banyak kritikus memuji kekuatan deskripsi Utuy di
dalam Tambera. Karena itu, tak
sedikit kalangan menyambut kehadiran Utuy sebagai sastrawan Indonesia. Bahkan,
selang tiga tahun setelah terbit pada 1949, Tambera
pun mengalami cetak ulang kedua pada 1952.
Di Jakarta, ia bekerja
pada majalah Gema Suasana yang
merupakan anak perusahaan percetakan Opbouw dan dibiayai oleh pemerintah
Belanda di Indonesia. Majalah Gema
Suasana merupakan penerbitan kelompok intelektual Sjahrir di Jakarta,
antara lain Chairil Anwar, Ida Nasution, Asrul Sani, Rivai Apin, dll. Utuy
menggantikan posisi Chairil Anwar yang pindah ke majalah kelompok Sjahrir lainnya
yakni Siasat. Gema Suasana hanya bertahan selama setahun. Sekuel Tambera pernah dimuat di Gema Suasana yakni “Persiapan” (Gema Suasana, No. 3 Maret 1948: 131-137).
Selepas dari Gema Suasana, Utuy bekerja pada Balai
Pustaka sebagai redaktur bagian naskah dan majalah. Selain sebagai redaktur,
Utuy semakin mengukuhkan dirinya sebagai sastrawan Indonesia. Awal dan Mira merupakan drama Utuy yang
mendapatkan hadiah Juara I Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Menyusul pula
drama-drama lainnya, seperti Manusia
Iseng, Selamat Djalan Anak Kufur,
Sayang Ada Orang Lain, Empat Manusia Kota, libretto Sang Kuriang, dan lainnya.
Dalam khasanah
kesusastraan Sunda, Utuy pun sempat mengenalkan gagasan Barat terhadap cara
pandang kesusastraan lama Sunda yakni cerita Sang Kuriang dan Si Kabayan.
Dengan begitu, nama Utuy pun tak bisa dipisahkan dari perkembangan kesusastraan
Sunda pascakemerdekaan. Bahkan cerita libretto Sang Kuriang-nya merupakan libretto pertama dalam khasanah
kesusastraan Sunda (Ajip Rosidi, “Menggali Jang Lama” Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? 1964: 94-102). Jalan cerita
mengenai Sang Kuriang yang ditulisnya,
mirip tragedi pahlawan Oedipus di Yunani, pun diakui memiliki orisinalitas yang
belum dimiliki penulis lain ketika itu. Begitupun cerita Si Kabayan-nya mulai mengadaptasi mengenai kehidupan masyarakat
sezamannya sebagai ironi dan satire. Karena itu, barangkali sampai saat ini
orang sulit melupakan peran Utuy di dalam khasanah kesusastraan Sunda.
Tak ada catatan resmi,
entah sampai kapan Utuy bekerja di Balai Pustaka. Setelah itu, Utuy bekerja
pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI sebagai Penatar
Bahasa. Kala itu, dapat dikatakan bahwa Utuy memegang jabatan penting dalam
instansi tersebut. Dan sebagai pejabat penting, tak jarang ia menjadi wakil
pemerintah Indonesia dalam undangan forum kesusastraan internasional, seperti
delegasi pengarang Indonesia ke Tiongkok (1957) dan Konferensi Pengarang Asia
Afrika di Tasjkent Uzbekistan (1958).
Kunjungan Utuy dalam acara Sidang Konferensi Pengarang Asia
Afrika di Tasjkent Uzbekistan (1958).
Sumber: ”Utuy Tukang Ramal dan Menu Prantjis”, dalam Bintang Timur, 24 Maret 1963. |
Sepanjang tahun 1950-an
telah terjadi polarisasi gagasan kebudayaan di dalam kelompok seniman atau
sastrawan Indonesia. Utuy mengalami perubahan gagasan dalam proses kreativitas
kesusastraannya. Realisme Utuy bermetamorfosa menjadi realisme sosialis. Utuy
telah dekat dengan kalangan sastrawan yang mengembangkan konsepsi kesusastraan
realisme sosialis di Lekra. Dua karya sastra Utuy telah mendapatkan pujian para
kritikus sastra Lekra yakni Si Kabayan
(1959) dan Si Kampeng (1963) sebagai “realisme
reaksioner”. Apabila sebelumnya karya sastra Utuy menggambarkan prihal tokoh-tokoh
kesusastraannya yang polos-eksistensialis, maka dengan gagasan realisme
sosialisnya ia menegaskan peran sang tokoh karya sastra yang selalu ingin
keluar dari kemelut masalah yang dihadapinya. Realisme reaksioner: ketika ditindas,
maka muncul reaksi. Hal itu ditunjukkan oleh tokoh cerita Si Kabayan dan Si Kampeng.
Selain itu, ada Si Sapar yang dinilai
masih sebagai “realisme potret” karena berhasil memotret kisah cinta kehidupan
tukang becak dan pelacur di Jakarta. Tetapi, kisah mati kedua orang itu tidak
menunjukkan mengenai upaya tokoh cerita untuk keluar dari kemelut masalahnya.
Sejak tahun 1963, Utuy
terlibat di Lembaga Sastra Indonesia Lekra. Beberapa kali diundang dalam acara
kesenian atau kebudayaan yang diselenggarakan Lekra, baik di daerah maupun di
Jakarta. Aktivitas dan pengaruhnya di Lekra memang tidak sebesar para pengurus
Lekra lainnya, laiknya Njoto, A. S. Dharta, Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin,
Boejoeng Saleh, Bakrie Siregar, dan lainnya. Dengan konsepsi realisme
sosialisnya di Lekra, Utuy terbilang tidak produktif dalam menghasilkan karya
sastra. Tetapi, aktivitasnya di Lekra telah menjadikannya aktif menulis esai
mengenai konsepsi kesusastraannya. Semisal tampak dari konsepsi mengenai drama
atau sastra Sunda (“Penulisan Drama Sebagai Bagian dari Teater” Bintang Timur, 17, 14, 21 April 1963. “Sastra Sunda sebagai Djurubitjara
dua Kebudajaan” Harian Rakyat, 2, 9, 16, 23, 30
Agustus 1964).
Pertunjukan drama Utuy
Keterangan:
Pertunjukan naskah drama Bunga Rumah
Makan karya Utuy oleh seniman Uni Soviet.
Sumber: ”Sastra ’jg
terlahir di Tjiandjur”, dalam Bintang
Timur, 10 November 1963.
|
Di akhir September 1965,
Utuy ikut dalam rombongan yang menghadiri perayaan hari pembebasan nasional
Tiongkok pada 1 Oktober 1965. Utuy turut serta dalam rombongan Lekra dan PKI,
meskipun waktu itu yang berangkat berbagai kelompok dan wakil Pemerintah
Indonesia. Tanggal 30 September 1965 meletus usaha kup yang dilakukan kelompok Letkol
Untung dkk. Usaha kup itu memicu kampanye bahwa PKI sebagai aktor utama usaha
kup. Dengan begitu, PKI dan “keluarga organisasinya” dilarang, orang-orangnya
ditahan, dibunuh, dan para delegasi yang mengikuti acara di luar negeri tidak
diperkenankan oleh Pemerintah, yang setelah meletus Peristiwa 30 September 1965
itu diisi oleh para purnawirawan atau perwira TNI AD, tidak pulang ke Indonesia.
Tanggal 30 November
dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No.
1381/1965 mengenai daftar pelarangan buku. Bersama nasib 76 pengarang lainnya,
karya-karya Utuy dilarang untuk dibaca atau diterbitkan. Utuy adalah orang
kedua yang bukunya paling banyak dilarang Pemerintah setelah nama Pramoedya
Ananta Toer. Peristiwa itu telah menandakan suatu peralihan kepemilikan
panggung kesusastraan Indonesia. Gagasan mengenai kesusastraan realisme
sosialis telah benar-benar tidak muncul di Indonesia pascapelarangan Lekra
sampai saat ini.
Utuy sendiri sejak
1965-1973 berada di Tiongkok. Tak bisa pulang ke tanah air karena hidup di kamp
pengasingan yang disediakan oleh Pemerintah Tiongkok. Sebelum 1965, Utuy adalah
salah seorang pengarang Indonesia yang dihormati dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Tiongkok. Tercatat ada tiga karya sastranya yang diterjemahkan yakni Tambera (Tan Peila), Bunga Rumah Makan (Fan Tien Tsi Hua), dan
Di Langit Ada Bintang (Tien Shang Yon
Hsing-hsing). Sampai 1973, dengan alasan berobat ia pindah ke Uni Soviet,
di mana beberapa karya sastranya pun diterjemahkan ke bahasa Rusia. Di sana ia
mendapatkan kehormatan untuk menjadi dosen tamu pada Institut Bahasa-Bahasa
Asing di Universitas Moskwa Uni Soviet. Tak sempat pulang ke Indonesia, pada 17
September 1979 Utuy wafat di Rusia akibat stroke dan dimakamkan di kompleks
pemukiman muslim Rusia.
Sebagaimana dirinya
menyebut sebagai rajawali yang kesepian di tengah keramaian, maka Utuy sepanjang
menjelang akhir hayatnya telah benar-benar kesepian hingga wafat di tanah
pengasingan. Meskipun kesepian di Uni Soviet akibat rindu terhadap keluarga di
Indonesia dan pengucilan diri di antara eksil politik Indonesia lainnya, Utuy
telah menulis 11 karya, diantaranya cerpen, roman, drama dan esai. Sayangnya,
kesebelas karya itu belum diterbitkan di Indonesia. Sudah seharusnya,
karya-karya Utuy itu mendapatkan kembali porsi penilaian yang sewajarnya di
dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Utuy adalah peletak awal drama realisme.
Dalam rangka meninjau kembali mengenai kehidupan dan karya sastra Utuy, maka
diperlukan usaha penelusuran kembali mengenai karya-karyanya, menerbitkan
ulang, meninjau gagasannya, serta mementaskan karya dramanya. Oleh karena itu,
saat ini kita dimungkinkan untuk melakukan keperluan meninjau ulang dan
menempatkan Utuy di dalam wacana pengetahuan sejarah kesusastraan Indonesia.
Pada
2002, beberapa karya Utuy sudah diterbtikan ulang oleh Balai Pustaka. Antara
lain Tambera, Awal dan Mira, Suling, Sang Kuriang, Sayang Ada Orang Lain, dan lainnya. Penerbit Pustaka Jaya
menerbitkan kumpulan memoarnya selama eksil di Tiongkok dan Uni Soviet yakni Di Bawah Langit Tak Berbintang (2001)
serta Menuju Kamar Durhaka (2002). Akhir-akhir
ini pula beberapa naskah drama Utuy mulai dipentaskan sebagai wacana
perkembangan teater realis Indonesia. Tetapi, usaha itu belum cukup untuk menelusuri
kepengarangan Utuy. Ada karya sastranya sepanjang tahun 1930-an yakni Mahala Bapa dan beberapa karya sastra
selama pengasingannya belum diterbitkan. Dengan demikian, kita masih memerlukan
waktu untuk membaca, mementaskan dan meninjau karya Utuy sebagaimana penilaian
yang objektif terhadap dirinya tanpa tendensi politik kesusastraan tertentu. Itu
diperlukan sebagai ikhtiar merangkum perkembangan ide-ide kesusastraan di Indonesia
ke depan. []
*Tulisan ini dibuat sebagai pengantar pertunjukan naskah Utuy T. Sontani "Selamat Djalan Anak Kufur" di TIM Jakarta, 2011.
Buku Utuy yang diterjemahkan ke Bahasa Tiongkok
Keterangan: Buku terjemahan “Di Langit Ada Bintang”
(Tien Shang Yon Hsing-Hsing) karya
Utuy Tatang Sontani dalam bahasa Tiongkok (1958).
Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI Jakarta.
|
0 Komentar untuk "Sekilas tentang Utuy Tatang Sontani"