Pelajaran apa yang bisa dipetik dari
pemberitaan pencapresan Rhoma Irama belum lama ini? Di era Consumer 3000 (C3000) yang memiliki ciri berwawasan/pengetahuan, well-informed, terkoneksi dengan
internet atau komunitas, tidak lagi mau memilih calon presiden berdasarkan kharisma
figur semata. Dahulu, raja dangdut itu boleh ditakuti oleh Soeharto sebagai
lawan politiknya, tapi saat ini Rhoma dipandang sebagai penyanyi atau dai semata. Oleh para pemirsa pengguna media sosial, pencapresan Bang Haji dinilai sebagai guyonan semata, karena bukan
sosok yang punya integritas untuk menjadi RI 1.
Sesuai dengan etimologinya, integritas (integrity) berasal dari kata integer, yang berarti wholeness atau completeness. Jika dibedah, nilai-nilai integritas sangat kompleks
dan berkorelasi dengan nilai-nilai lain, yakni kejujuran (honest), konsistensi (consistency),
kepakaran (expertise), reputasi (reputation), kepercayaan (trust), antusiasme (enthusiasm), dan panutan (role
model). Dengan demikian, integritas adalah puncak di mana perilaku seseorang
sudah sangat dipercaya karena kejujuran, konsistensi, walk the talk, kepakaran di bidangnya, dll, sehingga ia disegani dan bahkan diikuti perilakunya oleh orang lain.
Tatkala struktur sosial-ekonomi masyarakat
kita didominasi oleh kelas menengah, maka partai politik harus menjunjung
tinggi dan mengedepankan nilai-nilai integritas di dalam setiap pesan kampanye
politiknya. Partai politik hanya akan membuang-buang uang atau energi saja
apabila kampanye lipstik semata. Setidaknya, ada tiga faktor pendorong mengapa
integritas menjadi sangat krusial di mata Consumer 3000 sebagai
faktor pertimbangan memilih capres atau caleg. Ketiga hal itu adalah perubahan
nilai-nilai, information seeking behavior,
dan high quality-oriented. Berikut rangkumannya satu per satu:
Perubahan
Nilai-nilai
Saat masyarakat di suatu negara
mengalami mobilitas sosial dari kelas bawah ke kelas menengah, maka akan
terjadi perubahan nilai-nilai yang berpengaruh besar dalam berbagai sendi
kehidupan. Mereka semakin kritis, rasional, terbuka, toleran, menjunjung tinggi
kesetaraan dan keadilan, demokratis, dan lain-lain. Tumbuhnya nilai-nilai baru
itu tidak lepas dari pengaruh tingkat pendidikan yang semakin baik, pergaulan
masyarakat yang semakin luas, sadar hukum, melek politik, dan lainnya.
Sesuai dengan nilai-nilai di atas, maka
masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap sistem pemerintahan
yang otoriter, kolusi, nepotisme, bias kepentingan, dan lain-lain. Dalam hal
memilih pemimpin, mereka berpikir secara rasional, tidak lagi percaya pada
kharisma (konsep ratu adil), asal suku/agama, dll. Yang mereka junjung adalah
nilai-nilai demokratis dan integritas pada figurnya.
Oleh karena itu, di era Consumer 3000, kampanye politik bermuatan chauvinisme, agama atau kesukuan,
kharisma tokoh, dll., akan semakin irrelevant
di mata masyarakat. Banyak tokoh politik yang telah melakukan tindakan blunder
atau “bunuh diri” karena saat kampanye membawa label-label agama, suku, nama keluarga,
popularitas, dan sebagainya. Rhoma Irama adalah contoh blunder dalam kampanye
politik.
Information Seeking Behavior
Dalam banyak hal, internet telah
mengubah berbagai sendi kehidupan kelas menengah. Dengan platform mesin pencari (search engine) atau media sosial telah
mengubah perilaku mereka. Saat ini, masyarakat cenderung otonom dan ingin
mencari sendiri tentang hal yang perlu dan ingin diketahuinya. Umpamanya, dalam membeli
suatu barang, mereka sudah lazim mencari informasi atau bertanya terlebih
dahulu di internet sebelum membeli.
Tidak beda halnya dengan perilaku
berpolitik masyarakat kita saat ini. Tidak ingin ambil risiko salah memilih,
maka mereka tak bosan-bosannya mencari informasi atau bertanya di internet seputar
partai atau sosok pemimpinnya berdasarkan rekam jejak, kemampuan mengatasi
masalah, kejujuran atau kebersihan para pemimpin, dll.
Atas dasar perilaku mencari itu yang
mendorong berbagai partai untuk menggunakan internet sebagai ajang kampanye.
Mereka content creation di berbagai
platform media sosial, video sharing,
website resmi partai, sewa buzzer, dll, untuk menangkap peluang
dari perilaku mencari kelas menengah ini. Popularitas di
internet pun bisa menjadi salah satu ukuran faktor pertimbangan disukai, sementara yang tidak populer di internet dinilai tidak populer oleh kelas menengah.
Kualitas
No.1
Sebagaimana halnya ketika membeli
barang, kualitas menjadi faktor pertimbangan nomer 1 dalam memilih calon pemimpin.
Consumer 3000 tidak ingin memilih calon pemimpin yang tidak berkualitas atau
tidak mampu memecahkan masalah masyarakat. Dengan kritis, mereka akan mencari sosok
pemimpin yang dinilainya ideal. Apabila tidak ada pemimpin yang sesuai
harapannya, maka kemungkinan besar Consumer 3000 ini akan golput.
Berdasarkan hasil Alvara Research Center
menunjukkan bahwa terdapat 27,1% swing
voters atau “pemilih galau” di segmen kelas menengah. Swing voters ini adalah jenis pemilih
yang melek politik, tapi rendah berpartisipasi. Mereka akan memilih partai atau
calon pemimpin tatkala sesuai dengan standard kriterianya, sementara jika tidak
sesuai, maka mereka akan memilih golput. Selain itu, ada tiga tipe kelas
menengah lain yakni rational voters, conservative voters, dan apathetic voters. Dengan kata lain,
besarnya jumlah swing voters memberikan sinyal bagi calon pemimpin agar
mereka memiliki integritas saat ingin dipilih oleh kelas menengah. Jangan coba-coba ingin dipilih jika tidak punya integritas.
Sebagai penggemar, saya berharap agar Bang Haji tidak menyalonkan diri sebagai presiden RI. Consumer 3000 tidak merestui Bang Haji naik sebagai presiden, karena tidak punya integritas dalam hal mengurusi negara. Kalau Bang Haji jadi presiden penggemar dangdut, niscaya Consumer 3000 akan senang memilih. :)
Sebagai penggemar, saya berharap agar Bang Haji tidak menyalonkan diri sebagai presiden RI. Consumer 3000 tidak merestui Bang Haji naik sebagai presiden, karena tidak punya integritas dalam hal mengurusi negara. Kalau Bang Haji jadi presiden penggemar dangdut, niscaya Consumer 3000 akan senang memilih. :)
0 Komentar untuk "Bang Haji di Mata C3000"